Batik Belanda

Orang Belanda Jaman Dahulu Menggunakan Batik
Batik Belanda adalah jenis batik yang tumbuh dan berkembang antara tahun 1840-1940. Pada mulanya batik ini hanya dibuat untuk masyarakat Belanda dan Indo-Belanda yang pada umumnya berbentuk sarung. Para pemakainya semula terbatas pada kalangan sendiri kemudian menyebar ke lingkungan orang Tionghoa dan para bangsawan Jawa.
Bangsa Belanda datang ke Pulau Jawa dengan bendera VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada awal abad ke-17 untuk berdagang. Keberhasilan di bidang niaga membuat sebagian di antara mereka memilih tinggal menetap di kawasan yang dikenal dengan sebutan Hindia Belanda yang beriklim tropis. Mereka mengenakan Chintz dari India untuk busana sehari-hari.
Pada awal abad ke-19 terjadi penurunan import Chintz dari India. Hal ini membuat para pemakainya beralih ke batik dengan pola yang menyerupai Chintz atau pola-pola yang menampilkan paduan aneka bunga atau pola buketan, pohon bunga dengan ragam hias burung terutama burung bangau, angsa dan burung-burung kecil serta kupu-kupu, dapat pula pesawat terbang, bangunan atau sosok manusia. Ada pula ragam hias dongeng Eropa dan pengaruh budaya Tiongkok. 
Batik Belanda Motif Dongeng
Ketika impor tekstil dari India terhenti, terbukalah peluang bagi pengrajin batik untuk membuat dan memasarkan batik-nya. Runtuhnya VOC tahun 1799 dan kemudian digantikan oleh pemerintahan Belanda menyebabkan makin banyak orang Belanda menetap di Pulau Jawa dan berarti meningkat pula permintaan terhadap batik. Antara tahun 1840-1940 Pekalongan merupakan tempat mulai tumbuhnya batik Belanda. Banyak perusahaan batik Belanda bermunculan di Pekalongan yang dibuat oleh wanita Indo-Belanda seperti diantaranya Catharina Carolina van Oosterom, (batik Panastroman) dan Williams, disusul oleh perusahaan milik pengusaha Tionghoa dan Arab yang membuat batik Belanda. Ada pula E. van Zuylen, Metz dan Yans yang melahirkan batik van Zuylen. Selain itu daerah Semarang, Ungaran, Banyumas, Pacitan, Surakarta dan Yogyakarta. Tahun 1910 muncul batik Belanda milik orang Jawa di Banyumas.
Orang Indo Belanda memulai usaha batik dalam bentuk industri rumah tangga dengan membeli batikan dari para pengrajin batik dan mengupah orang untuk mencelup. Meningkatnya permintaan batik mendorong mereka yang sebagian besar terdiri atas wanita Belanda mulai mengubah pola kerja dari industri rumah tangga menjadi perusahaan dengan tempat kerja yang luas dan tata kerja yang sistematis. Sekitar pertengahan abad ke-19 tercatat beberapa usaha pembuatan batik dalam bentuk perusahaan yang dirintis dan dikelola oleh wanita Belanda, yang pada umumnya berpendidikan cukup. Wanita-wanita Belanda ini merupakan pengusaha yang sangat tangguh dan berangsur-angsur menjadi pengusaha batik terkemuka di berbagai bandar sepanjang pesisir utara terutama di Pekalongan yang bersama kota-kota lain berkembang menjadi pusat batik yang penting.  Perusahaan batik Belanda pertama berdiri di Surabaya pada tahun 1840, milik Carolina Josephina von Franquemont, yang kemudian pindah ke Semarang. Franquemont terkenal dengan penemuan warna hijau dari zat warna nabati yang tahan luntur. Warna ini kemudian disebut hijau franquemont dan sekaligus menjadi ciri khas warna batiknya.
Pelopor lain pengusaha batik Belanda adalah Catharina Carolina van Oosterom. Batik van Oosterom, yang kemudian dikenal sebagai batik Panastroman, dibuat di Banyumas dengan pola-pola yang banyak menampilkan pengaruh keraton. Sebelum pindah ke Banyumas, batik Oosterom dibuat di Semarang dengan pola Eropa. Para pengusaha batik Belanda dalam periode awal ini antara lain: B Fisher, S W Ferns, Scharff van Dop, C M Meyer, J A de Wit, AJF Jans, dan A Wollweber.
Nama L Metzelaar terkenal sebelum munculnya batik Eliza van Zuylen yang merupakan puncak karya cipta pengusaha batik Belanda. Pada periode ini hadir nama-nama baru seperti Carp, Feunem, Haighton dan Williams.
Pada awalnya batik Belanda, terutama yang dihasilkan oleh para pelopor seperti Franquemont dan Oosterom hanya menampilkan warna merah mengkudu dan biru indigo, baik biru muda maupun biru tua. Pola-polanya pun masih banyak yang menampilkan ragam hias mirip lereng dan lung-lungan, serta bertema dongeng. Seiring dengan pengaruh zaman yang menghendaki pola-pola yang menampilkan jati diri secara jelas, pola-pola semacam itu tidak tampak lagi dan digantikan oleh pola yang benar-benar bernuansa Eropa atau Belanda, yakni rangkaian bunga-bunga, buketan besar ataupun burung bangau di tengah rumpun tanaman air. Warnanya pun bergeser sedikit demi sedikit kearah warna yang lebih dari dua warna, terutama ketika mereka mulai menggunakan zat warna sintetis. Meskipun sebelumnya para pengusaha Belanda menolak menggunakan zat warna tersebut. Hal ini disebabkan oleh reputasi mereka sebagai seniman batik yang dibangun melalui warna-warna khusus ramuan mereka dari zat warna alami.
Pengusaha-pengusaha batik Belanda yang bermukim di pedalaman menghasilkan batik yang sangat dpengaruhi oleh lingkungannya. Pola serta warna batik keraton tampil bersama pola-pola batik Belanda dalam bentuk sarung, baik dengan kepala tumpal maupun kepala buketan. Pola utamanya tetap bernafaskan selera Eropa, yaitu bunga-bunga, buketan, burung-burung, kupu-kupu dan rangkaian bunga di atas latar dengan isen tradisional Jawa antara lain gringsing, galaran, anggur, dan akar jahe yang ditata dengan warna-warna biru tua, putih, serta warna soga yang sangat muda. Batik Belanda semacam ini antara lain dibuat oleh M Coenraad dan E Coenraad di Pacitan; Van Gentz Gottlieb, dan Jonas di Surakarta; Gobel dan De Boer di Yogyakarta; serta Williams dan Matheron di Banyumas. Ragam hias Jawa dalam batik Matheron biasanya lebih menonjol karena banyak menggunakan warna-warna soga dan pola klasik seperti lereng dan Sekar Jagad.
Tetapi ada pula ragam hias yang diilhami oleh dongeng-dongeng Eropa sebagai tema pola, antara lain “Little Red Riding Hood”, “Snow White”, dan “Hanzel and Gretel”. Bahkan ada pula pola yang menampilkan pemgaruh budaya Tiongkok seperti Dewi His Wang Mu, serta pola wayang dan pola sirkus.
Menjelang puncak perkembangannya, yakni kurang lebih pada tahun 1890-1910, batik Belanda tampil dengan wajah baru yang diprakarsai oleh Franquemont. Banyak perubahan terjadi pada penataan polanya, antara lain tidak semua bagian kepalamenggunakan ragam hias tumpal. Ragam hias tumpal yang pada awalnya dominan digantikan oleh untaian bunga atau ragam hias renda yang berfungsi sebagai batas antara bagian kepala dan bagian badan sarung. Adapun pola pada bagian kepala beraneka ragam, misalnya pola parang, lereng, dan buketan dengan isen tanahan. Batik-batik Belanda juga mengubah semua aturan yang biasa diterapkan pada pola kepala dan badan sarung.pada perkembangannya terakhir tampak pola badan dan kepala tidak berupa buketan, tetapi cukup dibedakan melalui perbedaan perpaduan warna-warna yang digunakan. Di samping itu bagian kepala tidak selalu diletakan di ujung sarung, tetapi dipindahkan ke bidang tengah sarung. Demikian pula bagian papan dihilangkan.
Kehadiran batik Belanda di Pulau Jawa di satu sisi merupakan saksi perkembangan batik di zaman Belanda yang diwarnai oleh zaman, peristiwa, serta lingkungan. Gejolak zaman yang disebabkan berkecamuknya Perang Dunia II sangat mempengaruhi kelangsungan produksi batik Belanda. Kedatangan bala tentara Jepang menyebabkan banyak orang Belanda dan Indo-Belanda ditahan dan dimasukan ke kamp-kamp oleh tentara Jepang. Oleh sebab itu hampir semua perusahaan batik Belanda, sebuah mahzab yang memberi sentuhan khusus pada perjalanan batik di bumi Nusantara berhenti berproduksi.  Di sisi lain batik Belanda menghadirkan karya-karya yang merupakan adikarya dari karyakarya batik yang sudah pernah ada sebelumnya dan merupakan hasil karya seni budaya yang sangat tinggi nilainya. Meski keindahannya merupakan keindahan visual saja.
Di bawah ini beberapa motif batik yang tergolong batik dengan pengaruh Belanda, yaitu :
Batik Belanda (Frannquemont)
pola Hanzel dan Gretel
Batik Belanda (J. Jans)
pola Buketan isen latar
Batik Belanda (Wollweber)
pola Limaran