FEEDBURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Batik

Membuat Batik Tulis
Batik berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa, yaitu "amba" yang berarti menulis dan kata "tik" yang berarti titik. Titik tersebut disebut “cecek” yang artinya bagian penting dari batik. Dalam bahasa jawa batik disebut “trik atau tantik”, yaitu kain yang digambari tampak seperti bentuk titik-titik. Kata ambatik mungkin diterjemahkan selembar kain yang terdiri dari titik-titik berasal dari malam atau zat tertentu. Berdasarkan uraian pendapat di atas, batik dapat dikatakan menghiasi kain mori, katun atau sutera dengan menggunakan lilin atau malam sebagai bahan penolak warna dengan menggunakan alat canting atau sejenisnya, serta melalui beberapa proses sehingga menghasilkan suatu motif batik yang unik dan menarik pada permukaan kain tersebut.
Sejarah Tehnik Batik
Pembuatan Batik Tulis
Seni pewarnaan kain dengan teknik pencegahan pewarnaan menggunakan malam adalah salah satu bentuk seni kuno. Penemuan di Mesir menunjukkan bahwa teknik ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti T'ang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794). Di Afrika, teknik seperti batik dikenal oleh Suku Yoruba di Nigeria, serta Suku Soninke dan Wolof di Senegal. Di Indonesia, batik tradisional Indonesia sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan menjadi sangat populer akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan sampai awal abad XX ialah batik tulis, sedangkan batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar tahun 1920-an.
G.P. Rouffaer
G.P Rouffaer
G.P Rouffaer
Walaupun kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, kehadiran batik di Jawa sendiri tidaklah tercatat. G.P. Rouffaer berpendapat bahwa tehnik batik ini kemungkinan diperkenalkan dari India atau Srilangka pada abad ke-6 atau ke-7. Di sisi lain, J.L.A. Brandes (arkeolog Belanda) dan F.A. Sutjipto (arkeolog Indonesia) percaya bahwa tradisi batik adalah asli dari daerah seperti Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Perlu dicatat bahwa wilayah tersebut bukanlah area yang dipengaruhi oleh Hinduisme tetapi diketahui memiliki tradisi kuno membuat batik. G.P. Rouffaer juga melaporkan bahwa pola gringsing sudah dikenal sejak abad ke-12 di Kediri, Jawa Timur. Dia menyimpulkan bahwa pola seperti ini hanya bisa dibentuk dengan menggunakan alat canting, sehingga ia berpendapat bahwa canting ditemukan di Jawa pada masa sekitar itu. Detil ukiran kain yang menyerupai pola batik dikenakan oleh Prajnaparamita, arca dewi kebijaksanaan buddhis dari Jawa Timur abad ke-13. Detil pakaian menampilkan pola sulur tumbuhan dan kembang-kembang rumit yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa yang dapat ditemukan kini. Hal ini menunjukkan bahwa membuat pola batik yang rumit yang hanya dapat dibuat dengan canting telah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau bahkan lebih awal.
Legenda dalam literatur Melayu abad ke-17, Sulalatus Salatin menceritakan Laksamana Hang Nadim yang diperintahkan oleh Sultan Mahmud untuk berlayar ke India agar mendapatkan 140 lembar kain serasah dengan pola 40 jenis bunga pada setiap lembarnya. Karena tidak mampu memenuhi perintah itu, dia membuat sendiri kain-kain itu. Namun sayangnya kapalnya karam dalam perjalanan pulang dan hanya mampu membawa empat lembar sehingga membuat sang Sultan kecewa. Oleh beberapa penafsir, serasah itu ditafsirkan sebagai batik.
Dalam literatur Eropa, teknik batik ini pertama kali diceritakan dalam buku History of Java (London, 1817) tulisan Sir Thomas Stamford Raffles. Ia pernah menjadi Gubernur Inggris di Jawa semasa Napoleon menduduki Belanda. Pada 1873 seorang saudagar Belanda Van Rijekevorsel memberikan selembar batik yang diperolehnya saat berkunjung ke Indonesia ke Museum Etnik di Rotterdam dan pada awal abad ke-19 itulah batik mulai mencapai masa keemasannya. Sewaktu dipamerkan di Exposition Universelle di Paris pada tahun 1900, batik Indonesia memukau publik dan seniman.
Semenjak industrialisasi dan globalisasi memperkenalkan teknik otomatisasi, batik jenis baru muncul dan dikenal sebagai batik cap dan batik cetak, sementara batik tradisional yang diproduksi dengan teknik tulisan tangan menggunakan canting dan malam disebut batik tulis. Pada saat yang sama imigran dari Indonesia ke Persekutuan Malaya juga membawa batik bersama mereka.
Sejarah Perkembangan Batik Tradisional di Indonesia
Batik Belanda Motif Fairy Tale
Batik Belanda Motif Fairy Tale
Seni batik maupun cara pembuatannya sudah dikenal di Indonesia sejak dulu. Namun demikian mengenai asal mula batik masih banyak diperdebatkan. Ada beberapa pihak yang menyetujui bahwa batik Indonesia merupakan bentuk kesenian yang berdiri sendiri dan tidak ada hubungannya dengan batik dinegara lain. Tetapi ada juga beberapa pihak yang mengemukakan bahwa batik diperkenalkan kepada nenek moyang kita oleh kaum pendatang. Pendukung pendapat ini mengemukakan bahwa batik sebenarnya berasal dari Persia dan Mesir, oleh sebab itu cara pembuatan dan penghiasan batik tidak hanya dikenal di Indonesia tetapi juga ada di Thailand, India, Jepang, Sri Lanka dan Batik Malaysia. Terlepas dari kedua pendapat tersebut, sesungguhnya batik memilki latar belakang yang kuat dengan bangsa Indonesia.
Batik Belanda
Batik tradisional Indonesia terus mengalami perubahan seiring dengan pengaruh dan perkembangan jaman. Perkembangan batik diawali pada jaman Belanda yang disebut dengan batik Van Zuylen sebagai orang pertama yang memperkenalkan seni batik kepada seluruh masyarakat di negeri Belanda, yang kemudian disebut sebagai "Batik Belanda”. Batik ini tumbuh dan berkembang antara tahun 1840-1940. Hampir semua Batik Belanda berbentuk sarung yang pada mulanya hanya dibuat masyarakat Belanda dan Indo-Belanda di daerah pesisir (Pekalongan). Batik Belanda sangat terkenal dengan kehalusan, ketelitian dan keserasian pembatikannya. Selain itu ragam hiasnya sebagian besar menampilkan paduan aneka bunga yang dirangkai menjadi buket atau pohon bunga dengan ragam hias burung atau dongeng-dongeng Eropa sebagai tema pola. Paduan sejenis juga dibuat dengan ragam hias Tiongkok atau Jawa dengan warna yang selalu lebih cerah sesuai dengan selera masyarakat Eropa pada masa itu.
Batik Lok Can
Batik Lok Can
Selanjutnya pengaruh budaya Tiongkok juga terdapat pada batik di pesisir utara Jawa Tengah hingga saat ini yang dikenal dengan nama Lok Can. Orang-orang Tionghoa mulai membuat batik pada awal abad ke 19. Jenis batik ini dibuat oleh orang-orang Tionghoa yang menampilkan pola-pola dengan ragam hias satwa mitos Tiongkok (naga dan burung phoenix), ragam hias yang berasal dari keramik Tiongkok kuno, dan ragam hias yang berbetuk mega dengan warna merah atau merah dan biru. Batik Tionghoa juga mengandung ragam hias buketan, terutama batik Tionghoa yang dipengaruhi pola Batik Belanda. Pola-pola batik Tionghoa dimensional, suatu efek yang diperoleh karena penggunaan perbedaan ketebalan dari satu warna dengan warna lain dan isian pola yang sangat rumit. Hal ini ditunjang oleh penggunaan zat warna sintetis jauh sebelum orang-orang Indo-Belanda menggunakannya.
Batik Jawa Hokokai
Pada jaman Jepang dikenal Batik Jawa Baru atau Jawa Hokokai. Batik ini diproduksi oleh perusahaan-perusahaan batik di Pekalongan sekitar tahun 1942-1945 dengan pola dan warna yang sangat dipengaruhi oleh budaya Jepang, walaupun pada latarnya masih menampakkan pola keraton. Batik Jawa Hokokai selalu hadir dalam bentuk “pagi-sore” yaitu batik dengan penataan dua pola yang berlainan pada sehelai kain batik. Batik ini terkenal rumit karena selalu menampilkan isian pola dan isian latar kecil dalam tata warna yang banyak. selain itu ragam warnanya lebih kuat seperti penggunaan warna kuning, lembayung, merah muda dan merah yang merupakan warna yang secara jelas menggambarkan nuansa dan citra Jepang.
Batik Motif Mega Mendung
Batik Motif Mega Mendung
Perkembangan batik Indonesia sendiri lahir sekitar tahun 1950 yang secara teknis merupakan paduan antara batik keraton dan batik pesisir. Pada perkembangannya batik di Indonesia juga memasukkan ragam hias berbagai suku di Indonesia. Ketekunan serta keterampilan seni dari para pengrajin batik membuat batik Indonesia tampil lebih serasi dan indah. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur budaya pendukungnya yang sangat kuat sehingga terwujud perpaduan ideal antara pola batik keraton yang anggun atau pola ragam hias busana adat berbagai daerah di Indonesia dengan teknologi batik pesisiran yang dikemas dalam simfoni warna yang tidak terbatas pada latarnya.
Jenis-Jenis Batik
Menurut macamnya kain batik terdiri atas tiga, yaitu:
Dari ketiga jenis batik tersebut diatas cara pembuatan batik tulis yang paling lama dan rumit, oleh karenanya harga batik tulis lebih mahal dan mempunyai keunikan nilai seni tersendiri.
Sesuai dengan sejarahnya, batik memiliki kandungan makna filosofis tersendiri dalam setiap motifnya. Menurut KRHT. DR. Winarso Kalinggo, terdapat kandungan makna dalam motif:
Dalam tradisi Jawa Keraton kain batik dipakai sebagai busana sehari-hari yang digolongkan dalam dua jenis, yaitu:
v  Kumpuh atau Dodot
Kain jarik dipakai untuk berbusana “Jawi Jangkep” dengan ukuran 1 meter x 2,5 meter, bagian pinggir kain melebar memakai “seret” untuk “wiron”. Batik sebagai busana dalam bentuk kain jarik ini memiliki 8 (delapan) kelengkapan yaitu:
v  Udheng (blangkon)
v  Kulambi (pakaian)
v  Sabuk (ikat pinggang)
v  Epektimang
v  Setagen
v  Kain Jarik
v  Dhuwung (keris)
v  Selop (alas kaki)
Khusus untuk kulambi (baju) terbagi kedalam 3 (tiga) jenis menurut golongan kepangkatan, yaitu :
v  Sikepan
v  Atelah
Tatanan dan Tuntunan Dalam Batik
Dalam tatanannya, batik juga digunakan untuk menentukan usia anak khususnya dalam bentuk pemakaiannya, yaitu :
v  Sabukwala Anak Putra;
Leluhur masyarakat Jawa telah memberikan ajaran atau tuntunan yang dimasukkan kedalam motif-motif kain batik sebagai pegangan dalam kehidupan sehari-hari karena masyarakat Jawa begitu sarat dengan makna-makna simbolis yang diberi doa dan permohonan kepada Tuhan dalam melaksanakan tatacara dan upacara. Demikian pula batik dipakai sebagai sarana dalam kehidupan manusia sejak lahir sampai meninggal dunia, seperti :
Oleh karena di dalam busana adat Jawa tersebut mengandung ajaran moral, etika, kepemimpinan, pengabdian, mistik dan perjodohan, maka dalam berbusana harus diperhatikan masalah :
v  Polatan : Wajah harus “sumeh” atau murah senyum.
v  Wicara : Bertutur kata halus dan menghargai lawan bicara.
v  Solah Bawa : Perilaku, cara berjalan dan pandangan harus sopan.
v  Saradan : Kebiasaan sombong dan kekerasan harus dihilangkan.
v  Patrap : Menghargai sesama, berprasangka baik dan menyenangkan orang lain.
Untuk menunjang kelancaran kegiatan perdagangan dari berbagai jenis batik, Pemerintah telah menentapkan bahwa semua kain batik yang dipasarkan harus memakai merek dan label. Ketetapan ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan baik produsen maupun konsumen. Setiap batik yang dibuat dengan tulis tangan, pada bagian tepinya harus terdapat tulisan “Batik Tulis” dan pada batik cap maka harus pula terdapat tulisan “Batik Cap”. Melalui ketentuan ini diharapkan agar konsumen yang bukan ahli dalam masalah batik tidak akan salah pilih. Begitu pula dengan produsen batik terutama pengusaha kecil yang umumnya pengrajin batik tradisional, diharapkan dapat dilindungi dari ulah para pembajak yang biasanya memiliki modal lebih besar dan lebih kuat.

Keanekaragaman Batik Tradisional Indonesia

Peragaan Busana Kain Batik Bentenan/Batik Minahasa
Selama ini masyarakat Indonesia lebih mengenal batik dari daerah Jawa Tengah baik itu Pekalongan, Yogyakarta, terutama Solo yang memang dinobatkan sebagai Kota Batik, padahal batik merupakan ciri khas budaya dalam pertekstilan Indonesia karena batik ini dapat ditemukan di berbagai tempat di Indonesia. Seperti Jawa Barat misalnya, bisa ditemukan batik khas Jawa Barat, yaitu batik Pesisir di Cirebon dan Indramayu yang dikenal dengan Batik Trusmi dan Dermayon, atau di daerah priangan yaitu Batik Garutan dari Garut. Di Propinsi lain seperti Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Papua, dan Bali juga dapat ditemukan Batik dengan ragam hias yang berbeda. Berikut ini adalah macam-macam batik-batik dari luar Jawa tersebut:
Batik Kalimantan
Batik Kalimantan
Batik Kalimantan
Selama ini yang terkenal hanyalah motif batik dari pulau Jawa. padahal Kalimantan juga memiliki motif yang tak kalah menarik dan khas. Bila kain Batik Kalimatan Selatan terkenal dengan nama kain Sasirangan, kain batik Kalimantan Tengah terkenal dengan nama Batik Benang Bintiknya. Motifnya pun variatif dengan warna-warna yang memanjakan selera. Motif yang umum adalah Batang Garing (simbol batang kehidupan bagi masyarakat Dayak), Mandau (senjata khas suku Dayak), Burung Enggang/Tingang (Elang Kalimantan), dan Balanga. Warnanya lebih berani seperti shocking pink, hijau stabilo, merah terang, oranye, dan masih banyak lagi.
Sasirangan bagi masyarakat Banjar merupakan warisan budaya turun temurun. Kain ini memiliki nilai adat dan tradisi yang mengikat dikalangan masyarakat Banjar. Proses pembuatan kain sasirangan sejak dahulu hingga kini masih secara tradisional. Masyarakat suku Banjar meyakini bahwa setiap warna memiliki kekuatan magis yang tersembunyi dibaliknya dan dapat dijadikan sebagai sarana penyembuhan. Oleh sebab itu pemberian warna pada kain sasirangan selalu dibuat sesuai dengan tujuan tertentu, yakni sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan. Tidak hanya itu, beragam corak atau motif yang terdapat pada kain sasirangan juga dipercaya memiliki fungsi yang berbeda satu sama lain dalam ritual upacara adat Suku Banjar. Seperti untuk pengobatan orang sakit (ghaib), ikat kepala adat Banjar (laung), kerudung (kakamban), sarung atau jarik untuk perempuan (tapih bahalai), serta ikat pinggang (babat).

Batik Papua
Batik Papua
Batik Papua
Bila dibandingkan dengan batik Jawa, batik Papua mempunyai corak yang cukup mencolok. Batik Papua pada umumnya berwarna cenderung lebih gelap dengan motif yang kebanyakan berpola patung. Lambang-lambang yang dikeramatkan dan ukiran khas Papua juga menjadi ciri khas batik asal daerah berpanorama indah tersebut. Salah satu batik Papua yang dikenal masyarakat luas adalah batik motif asmat yaitu simbol patung-patung kayu suku Asmat. Batik ini mempunyai ciri-ciri yang sangat khas, antara lain, warnanya lebih cokelat dengan campuran warna tanah dan terakota (merah kecokelat-cokelatan). Soal pemilihan motif batik Papua banyak menggunakan simbol-simbol keramat dan ukiran khas Papua. Cecak atau buaya adalah salah satunya,selain tentu lingkaran-lingkaran besar.
Sebenarnya masih banyak motif batik Papua lain yang dapat ditemui di pasaran contohnya motif burung cendrawasih, motif kamoro (atau simbol patung berdiri), motif sentani dengan ciri gambar alur batang kayu yang melingkar-lingkar dengan jenis warna hanya satu atau dua warna dan ada pula motif yang divariasi dengan sentuhan garis-garis emas dan dijuluki batik prada. Keunikan motif batik Papua membuatnya dilirik banyak orang, mulai dari konsumen lokal hingga internasional. Hal itu dinilai wajar sebab batik Papua tak hanya melambangkan budaya masyarakat sekitar saja tapi juga menorehkan unsur sejarah dan arkeolog di dalamnya. Karenanya, batik khas daerah paling timur Indonesia ini layak dilestarikan dan dibimbing untuk bisa bersaing dengan aset nasional lainnya.
Batik Padang
Batik Tanah Liek, Padang-Sumatra Barat
Batik Tanah Liek, Padang-Sumatra Barat
Batik Padang atau dalam bahasa Minangkabau disebut batik tanah liek (tanah liat) adalah jenis kain batik yang berasal dari Minangkabau. Dinamakan batik tanah liat karena batik ini menggunakan tanah liat dalam proses pewarnaannya. Motif batik Padang antara lain motif kaluak paku, motif pucuk rebung, motif rangkiang, dan lain-lain. Pemakaian batik tanah liek dahulu hanya digunakan untuk acara-acara adat dan dipakai oleh para pemuka adat saja sedangkan sekarang sudah bisa digunakan oleh masyarakat pada umumnya.
Pemakaian batik tanah liek dahulu hanya digunakan untuk acara-acara adat. Dulu pemuka adat seperti Datuak (penghulu atau kepala adat), Bundo Kanduang (pemimpin wanita di Minang), raja-raja kecil di Sungai Pagu, Solok, Jambu Lipo. Punjung. Sawah Lunto, dan Sijujung memakai batik ini. Biasanya batik ini dipakai sebagai perlengkapan adat, bisa berupa selendang atau saluak/peci. Para Datuak memakai selendang dengan melingkarkannya di leher, sedangkan untuk kaum wanita melampirkan selendang itu di bahu dengan ujung kain pertama dililit dua kali di bahu kiri dan ujungnya disampirkan di tangan kanan melalui bagian belakang badan.
Batik Padang memiliki ciri khas unik dalam pemilihan corak dan warnanya. Media pewarna dasar kain berupa tanah liat dengan cara merendam dasar kain yang belum dibubuhi motif batik kedalam larutan tanah liat. Perendaman ini bisa memakan waktu lebih dari satu hari untuk mendapatkan ketahanan warna ttanah yang menyatu dengan kain. Setelah itu, kain dicuci bersih lalu proses pembatikan. Warna Batik Padang kebanyakan hitam, kuning, merah ungu. Keterbatasan warna karena batik ini menggunakan tanah liat sebagai pewarna. Terkadang Batik Padang menggunakan pewarna alam dan juga pewarna sintetis. Motif-motif Batik Padang, diantaranya yaitu motif kaluak paku, motif pucuk rebung, motif rangkiang, motif itik pulang patang, motif parang rusak, motif tumbuhan merambat atau akar berdaun, keluk daun pakis, dan lain-lain. Ada beberapa motifnya yang menyerupai atau sama dengan Batik Banyumas, Indramayu, Solo, dan Jogja.
Batik Minahasa
Kain Bentenan/Batik Minahasa
Kain Bentenan/Batik Minahasa
Kain Bentenan merupakan kain tradisional hasil karya Suku Minahasa yang ada sekitar abad ke-7, pada awalnya kain ini berbahan dasar dari serat kulit kayu yang disebut fuya, diambil dari pohon lahendong dan pohon Sawukouw, serta Nenas dan Pisang, disebut koffo dan serat bambu disebut wa’u yang kemudian dilakukan proses tenun secara tradisional. Sekitar abad ke-15, orang Minahasa mulai menenun dengan benang katun dan hasil tenunan inilah yang dinamakan Kain Batik Bentenan. Dari Desa Bentenan yang terletak di Pantai Timur Minahasa Tenggara (distrik Pasan, Ratahan, Ponosakan dan Tonsawang) inilah, kain batik Bentenan pertama. Ditemukan dan terakhir ditenun di daerah Ratahan pada tahun 1900.
Kain Bentenan memiliki tujuh motif, yaitu :
  • Tonilama (tenun dari benang putih, tidak berwarna dan merupakan kain putih),
  • Sinoi (tenun dengan benang warna warni dan berbentuk garis-garis),
  • Pinatikan (tenun dengan garis-garis motif jala dan bentuk segi enam, merupakan yang pertama ditenun di Minahasa),
  • Tinompak kuda (tenun dengan aneka motif berulang),
  • Tinonton mata (tenun dengan gambar manusia),
  • Ka’iwu patola (tenun dengan motif tenun Patola India),
  • Kokera (tenun dengan motif bunga warna-warni bersulam manik-manik).
Kain Bentenan yang asli saat ini bisa dilihat di Museum Nasional Jakarta, Museum Tropenmuseum, Amsterdam, Museum voor Land-en Volkenkunde, Rotterdam, Museum fur Volkenkunde, Frankfurt-am-Main, Jerman, Ethnographical Museum, Dresden, dan Indonesisch Ethografisch Museum. Kain Bentenan adalah pusaka terkubur dari Minahasa yang menuntut diselamatkan oleh generasi penerus yang peduli. Kain Bentenan telah lama menghilang dari kehidupan masyarakat Minahasa, bahkan di desa Bentenan, Sulawesi Utara pun sudah tidak dapat ditemui lagi orang yang mampu menenun kain itu. Atas prakarsa dari HIMSA (Himpunan Seni dan Budaya Minahasa) untuk pertama kali kain bentenan asli dibawa keluar Museum Nasional kembali ke Minahasa dengan kawalan langsung Ketua Museum Nasional saat itu. Kain tenun Bentenan asli motif Kaiwu Patola tersebut dipamerkan di kampus Universitas Sam Ratulangi pada 10-12 Juni 2005.
Melihat respon masyarakat, Yayasan Karema (Kreasi Masyarakat Sulawesi Utara), yang merupakan pengganti HIMSA, yang berdiri pada tanggal 3 November 2006, kemudian memproduksi kain Bentenan dalam bentuk print (dicetak) guna memenuhi kebutuhan masyarakat umum.
Batik Maluku
Batik Maluku
Batik Maluku
Batik Maluku memiliki ciri khas yaitu bermotif pala cengkih parang dan salawaku (senjata khas Maluku) serta jenis alat musik. Batik Maluku yaitu motif cengkeh gugur motif khas pulau Seram alat musik debur ombak dan budaya. juga beragam dari warna yang terang kalem biru laut bahkan. digunakan juga beragam yaitu kain katun. juga warga luar daerah juga minat. batik ini berasal dari Kalimantan Papua Jakarta bahkan Belanda. Maluku merupakan persembahan warga Maluku untuk menghadirkan ragam hias khusus yang digali dari adat budaya lama negeri-negeri di Tanah. ini dirancang dengan memadukan etnik tradisional dan teknik desain modern untuk tampilan yang lebih elegan dan kontemporer namun tetap dikerjakan secara tradisional sekali.
Para Pengrajin Batik Maluku selalu melakukan upaya agar batik khas Maluku ini bisa dikenal dan diterima oleh semua masyarakat maluku. Sebuah Upayanya yaitu melakukan pendekatan ke pemerintah daerah selain itu juga mengikuti pameran tingkat nasional di Jakarta serta menggelar pameran di Ambon maluku. Para Pemerintah daerah dapat membantu pihaknya dan pengusaha batik untuk mensosialisasikan Batik Maluku kepada PNS maupun para tamu yang berkunjung di daerah tersebut. instansi di pemerintah provinsi Pemkot Ambon dan kabupaten juga telah menggunakan batik bunga cengkih pada hari Kamis dan Jumat siang. Urun serta Perhatian pemerintah untuk menjadikan hari Kamis dan Jumat berpakaian batik dapat meningkatkan pendapatan pelaku usaha serta melestarikan budaya daerah melalui batik maluku.
Batik Nusa Tenggara
Batik Sasambo - Nusa Tenggara
Batik Sasambo - Nusa Tenggara
Daerah Nusa Tenggara juga memiliki batik dengan motif khasnya sendiri. Contohnya adalah batik Sasambo yang dijadikan sebagai pakaian batik resmi lokal NTB. Di NTT, juga terdapat batik. Bahkan setiap pulaunya bisa menghasilkan batik dengan keunikan masing-masing. Pulau Sumba misalnya batik tenunnya khas dengan motif hewan. Pulau Rote khas dengan motif daunnya.
Batik itu warisan budaya Nusantara. Seandainya kita tidak terpisah oleh penjajah, Malaysia itu juga termasuk nusantara. Kita itu dengan mereka dulunya satu. bedanya Malaysia dijajah Inggris, Indonesia dijajah Belanda. Tapi kita dengan mereka berbagi warisan budaya yang berakar dari leluhur yang sama. Seperti motif Batik Sumatera berbeda dengan motif batik Jawa dan motif Batik Papua, seperti itu juga bedanya motif batik Malaysia dengan motif batik Indonesia.

Sejarah Perkembangan Batik Pekalongan

Museum Batik Pekalongan
Meskipun tidak ada catatan resmi kapan batik mulai dikenal di Pekalongan, namun menurut perkiraan  batik sudah ada di Pekalongan sekitar tahun 1800. Bahkan,  motif batik Pekalongan sudah  dibuat tahun 1802; seperti motif pohon kecil berupa bahan baju. Namun perkembangan yang signifikan diperkirakan terjadi setelah perang besar pada tahun 1825-1830 di kerajaan Mataram yang sering disebut dengan perang Diponegoro atau perang Jawa. Dengan  terjadinya peperangan ini mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya banyak yang meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah  baru itu para keluarga dan pengikutnya mengembangkan batik.
Pengrajin Batik Pekalongan Jaman Penjajahan
Pengrajin Batik Pekalongan Jaman Penjajahan
Secara umum perkembangan batik Pekalongan mengalami pasang surut. Pada tahun 1900-an batik Pekalongan mengalami perkembangan pesat karena kenaikan permintaan baik dari dalam maupun luar negeri. Pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 merupakan periode puncak dari peran kelompok wirausahawan pribumi. Industri batik dan garmen mengalami perkembangan pesat yang sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan sandang dari golongan elit baru yang membawa perubahan besar dalam masyarakat Indonesia, antara lain dalam bidang ekonomi terjadi perubahan perindustrian yang membuka pasar dan peluang kerja yang luas. Terlebih lagi dengan dibangunnya jalur kereta api pantura sehingga pengangkutan batik dari Pekalongan ke berbagai daerah semakin mudah.
Balai Kota Pekalongan Tempo Doeloe
Balai Kota Pekalongan Tempo Doeloe
Pada perang dunia I industri batik mengalami penurunan dan mulai berkembang lagi pada tahun 1920-an. Pada tahun 1927 di kota Pekalongan terdapat 881 perusahaan batik dengan perincian 278 perusahaan batik di Onderdistrik Buwaran, 224di Onderdistrik Tirto, 124 di Onderdistrik Poncol dan 225 di Onderdistrik Kota. Batik kembali merosot pada masa malaise 1930 sehingga rang-orang yang sebelumnya kaya seperti tukang cap harus bertahan hidup dengan menangkap ikan di sawah dan di sungai. Banyak pengusaha yang ganti usaha membuka warung. Buruh-buruh diberhentikan dan istri-istri mencari nafkah dengan menjual apapun yang bisa dijual. Banyak orang meninggalkan desanya untuk mencari nafkah ditempat lain. Banyak penduduk desa pergi ke luar jawa untuk mencari penghidupan baru seperti ke Teluk Betung, Padang, Medan, Kutaraja dan tempat-tempat lainnya. Siang hari tidak ada asap yang mengepul dari dapur, mereka hanya makan sekali sehari pada sore hari. Kemunduran batik Pekalongan disebabkan oleh ketidakprofesionalan dalam usaha, penjualan hasil batik yang tidak wajar, ketidak tahuan hubungan antara penawaran dan permintaan, pendanaan yang tidak ekonomis, produksi yang tidak terencana, persaingan yang ketat dan usaha batik terbagi dalam ratusan usaha kecil.
Pasar Batik Setono Pekalongan
Pasar Batik Setono Pekalongan
Pada tahun 1939 di Pekalongan didirikan dua koperasi batik yaitu Koperasi Batik Setono dan Koperasi batik Pekajangan yang didukung oleh pengusaha batik seperti Mufti, Mastur, Ridwan, Zen Muhammad, Aman jahri dan beberapa tokoh lain. Tujuan pendirian koperais batik ini adalah untuk menghadapi persaingan dengan pengusaha Tionghoa. Pada awal penjajahan Jepang, pemerintah Jepang mengambil alih seluruh pabrik-pabrik tekstil di Jawa, termasuk perusahaan Belanda di Tegal yang memperkerjakan 12.000 penduduk pribumi. Produk tekstil ini digunakan untuk kepentingan tentara Jepang dan sisanya untuk orang-orang sipil. Bahan katun menjadi langka sebab pemerintah Jepang menyita katun yang ada di pasaran dan menyerahkan kepada sejumlah perusahaan kecil untuk dijadikan batik dengan kualitas terbaik dengan desain sesuai selera Jepang. Pada masa Jepang, pengusaha pribumi yang termasuk kaum pergerakan dimanfaatkan untuk menggantikan kedudukan pengusaha Tionghoa yang pada masa kolonial Belanda mendapat tempat terhormat.
Masyarakat Kedungwuni Pekalongan Era Kemerdekaan
Masyarakat Kedungwuni Pekalongan Era Kemerdekaan
Kondisi politik dan keamanan pada awal kemerdekaan masih belum stabil. Indonesia masih harus melakukan perjuangan untuk menghadapi dan melawan Belanda yang berkeinginan untuk kembali menancapkan kuku penjajahan di Indonesia. Upaya penjajah Belanda tersebut antara lain dengan melakukan penyerangan kepada bumi pertiwi yang dikenal dengan agresi militer Belanda ke II tahun 1949. Akibat agresi militer tersebut yaitu daerah-daerah yang sebelum agresi menjadi wilayah Republik Indonesia berubah menjadi wilayah pendudukan Belanda. Daerah-daerah pendudukan tersebut harus ditinggalkan oleh tentara-tentara Republik Indonesia. Daerah-daerah tersebut berubah menjadi daerah isolasi sehingga mengalami berbagai kesulitan terutama kesulitan ekonomi antara lain kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sandang. Kota Pekalongan pada saat itu merupakan salah satu kota yang tidak termasuk daerah pendudukan Belanda, sehingga tidak mengalami masa-masa sulit dalam menghadapi blokade Belanda tersebut. Kondisi kesulitan memenuhi kebutuhan sandang yang dialami oleh daerah-daerah pendudukan Belanda justru mendatangkan peluang bagi industri batik Pekalongan untuk memenuhi kebutuhan sandang bagi daerah-daerah pendudukan Belanda. Kondisi ini merupakan cikal bakal kebangkitan industri batik Pekalongan menuju kejayaan yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat Pekalongan secara luas.
Perkembangan Batik Pekalongan Antara Tahun 1950-1970.
Pengrajin Batik Pekalongan
Pengrajin Batik Pekalongan
Pertumbuhan ekonomi tidak akan lepas dari kebijakan yang ditempuh pemerintah sebagai pemegang dan pengambil keputusan. Kebijakan politik ekonomi yang diambil pemerintah sebagai pemegang kekuasan besar pengaruhnya terhadap tumbuh dan berkembangnya ekonomi dalam hal ini termasuk didalamnya tumbuh dan berkembangnya industri batik. Presiden Soekarno menaruh perhatian sungguh-sungguh kepada perkembangan industri batik. Pemerintah memandang batik tidak hanya sebagai industri yang mendatangkan keuntungan ekonomi tapi batik dijadikan sebagai sarana untuk menumbuhkan persatuan dan kesatuan bangsa. Pemerintah mendorong diupayakannya batik nasional yang bisa mewakili batik daerah-daerah nusantara. Kebijakan pemerintah dalam mendorong batik nasional sebagai sarana mewujudkan persatuan dan kesatuan sangat tepat, sebab pada masa itu persatuan dan kesatuan sangat diperlukan sebagai modal melawan musuh-musuh negara.
Pemerintah pada tahun 1950 mengeluarkan kebijakan bidang ekonomi yaitu program ekonomi kerakyatan. Kebijakan ekonomi kerakyatan yaitu suatu program bidang ekonomi yang ditujukan pada pemberdayaan rakyat dalam bidang ekonomi. Ekonomi kerakyatan hanya bisa diwujudkan jika kegiatan ekonomi tersebut melibatkan rakyat sebagai pelaku ekonomi dan sebagai penikmat hasil kegiatan ekonomi. Program ekonomi yang bertujuan membangkitkan ekonomi kerakyatan tersebut dinamakan Progam Benteng Program ini bertujuan untuk menumbuhkan kewirausahaan Indonesia dan nasionalisme ekonomi. Beberapa kebijakan pemerintah dalam menggerakan ekonomi kerakyatan khususnya dalam pengembangan industri batik yaitu mendorong pendirian koperasi batik, pemberian lisensi kepada pengusaha pribumi, pemberian kemudahan dalam mendapatkan pinjaman modal dari bank, dan kampanye pemakaian produk dalam negeri.
Pedagang Batik
Pedagang Batik
Akibat dari kebijakan ekonomi kerakyatan khususnya dalam bidang industri perbatikan adalah tumbuh dan berkembangnya industri batik khususnya di kota Pekalongan. Perkembangan industri batik terlihat pada perkembangan fungsi batik. Jika sebelumnya penggunaan busana batik hanya sebatas pada busana kain bawahan untuk perempuan ( jarik ) dan sarung mulai berkembang menjadi pakaian jadi misalnya bahan gaun untuk wanita dan kemeja untuk pria semenjak awal tahun 1952. Perkembangan selanjutnya batik menjadi aksesoris untuk topi, household misalnya sprei, bedcover, taplak meja, serbet dan lain-lain. Peningkatan fungsi batik menjadi bahan pakaian jadi mendorong industri batik meningkatkan produksi dan inovasi baik yang ada di kota Pekalongan atau sentra-sentra produksi batik lainnya. Pada masa itu sulit menemukan masyarakat Pekalongan yang menganggur. Semua orang bekerja termasuk anak-anak yang masih sekolah. Pulang sekolah anak-anak tersebut bekerja membantu orang tua sebagai buruh batik rumahan. Mereka ikut menikmati keuntungan baik secara ekonomi maupun pengetahuan dan ketrampilan membatik. Perkembangan dan peningkatan fungsi batik telah mendatangkan keuntungan dan kesejahteraan bagi masyarakat perbatikan kota Pekalongan secara finansial dan mengembangkan batik baik dalam hal ragam dan coraknya.

Batik Pekalongan

Pekalongan Kota Batik
Batik Pekalongan termasuk kesenian batik yang terkenal di Indonesia, bahkan hingga mancanegara sudah mengenal jenis batik dari daerah ini. Dan jika ada salah satu daerah yang dijuluki sebagai Kampung Batik Indonesia maka itu adalah kota Pekalongan. Batik Pekalongan merupakan batik pesisir yang paling kaya akan warna. Batik Pekalongan menggambarkan ciri kehidupan masyarakat pesisir yang mudah beradaptasi pengaruh budaya luar dan juga mampu mengadaptasi pengaruh batik pedalaman.
Sejarah batik Pekalongan tak lepas dari adanya pengaruh baik dari daerah lain maupun pengaruh dari luar. Pengaruh-pengaruh tersebut semakin memperkaya keanekaragaman batik Pekalongan itu sendiri. Hal-hal yang mempengaruhi batik Pekalongan diantaranya adalah:
Pengaruh Kraton Cirebon
Batik Cirebon, Taman Arum Sunyaragi
Batik Cirebon, Taman Arum Sunyaragi
Awal perkembangan batik yang erat hubungannya dengan pengaruh masa Kesultanan Cirebon terdapat pada batik Pekalongan. Hal ini disebabkan pada abad XV dan XVI Keraton Cirebon merupakan kiblat bagi budaya dan agama bagi penduduk di pesisir utara jawa. Perkembangan batik baik di Cirebon maupun Pekalongan tidak terlepas dari adanya hubungan kultural-lokal yang sumber utamanya bertolak dari sejarah bangunan yang ditunjang komponen pendukungnya. Pola hias batik Cirebon mendapat pengaruh antara lain bentuk ragam hias dari taman Sunyaragi dan keraton Pakungwati, sedangkan Pekalongan lebih banyak ke arah ragam hias dari keramik Tiongkok yang menghiasi Keraton kasepuhan dan makam Raja-raja Cirebon di Gunungjati.
Secara filosofi, para pengrajin batik Pekalongan telah menempatkan hiasan keramik Tiongkok sebagai manifestasi ikatan kebudayaan leluhur yang dalam lukisannya memiliki kefasihan dan kelembutan. Pemilihan ragam hias jenis tumbuhan yang sebagian besar menjadi objek utama dan banyak terdapat pada lukisan keramik Tiongkok. Selain itu ragam hias batik Pekalongan yang berbentuk binatang seperti burung pipit, burung merak, ular naga dan kupu-kupu turut melengkapi ragam hias tumbuhan. Pola-pola batik untuk kepentingan peribadatan mengadaptasi ragam-ragam hias bentuk-bentuk manusia dewa dalam kerajaan langit sesuai kepercayaam agama leluhur yang disebut Tok-Wi(Jenis batik yang digunakan untuk alas altar persembahyangan) orang Tionghoa. Pengaruh batik Cirebon pada perkembangan batik Pekalongan juga nampak pada penghargaan yang diberikan keraton Cirebon terhadap batik Pekalongan khususnya oleh kalangan ningrat Tionghoa. Penghargaan keraton Cirebon terhadap batik Pekalongan nampaknya bukan hanya disebabkan oleh ragam hias dari keramik dinasti Ming namun juga disebabkan oleh ciri khas batik Pekalongan yaitu cara pembuatan yang berbeda dengan cara pembuatan batik di daerah lain khususnya pada masa itu.
Batik Kraton Motif Parang
Batik Kraton Motif Parang
Pengaruh Kraton Mataram
Wilayah Pekalongan merupakan wilayah kerajaan Mataram maka perjalanan sejarah batik Pekalongan tidak lepas dari pengaruh kerajaan Mataram. Pengaruh batik Keraton atau batik pedalalam terhadap sejarah perkembangan batik Pekalongan secara nyata terjadi setelah Perang Diponegoro atau juga disebut Perang Jawa (1825-1830) di kerajaan Mataram. Terjadinya peperangan ini mendesak keluarga kraton serta para pengikutnya banyak yang meninggalkan daerah kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikutnya mengembangkan batik. Ke timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang telah ada di Mojokerto serta Tulungagung hingga menyebar ke Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkembang di Banyumas, Kebumen, Tegal, Cirebon dan Pekalongan. Produksi batik tidak berhenti walaupun mereka telah tersingkir dari kehidupan kraton sebab batik merupakan sandang yang dipakai sehari-hari sehingga batik merupakan kebutuhan pokok.
Dengan adanya migrasi ini, maka batik Pekalongan yang telah ada sebelumnya semakin berkembang. Seiring berjalannya waktu, Batik Pekalongan mengalami perkembangan pesat dibandingkan dengan daerah lain. Di daerah ini batik berkembang di sekitar daerah pantai, yaitu di daerah Pekalongan kota dan daerah Buaran, Pekajangan serta Wonopringgo. Meskipun ciri-ciri batik Pekalongan motifnya mirip dengan batik Yogya atau batik Solo namun batik Pekalongan sangat bebas dan menarik karena dimodifikasi dengan banyak variasi warna yang atraktif. Banyak dijumpai juga batik Pekalongan yang memiliki banyak warna yang berbeda dengan kombinasi yang dinamis. Warna-warnanya yang mencolok terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan corak batik pedalaman seperti batik Solo dan Jogjakarta. Nama-nama batik Solo dan Jogya sangat bertolak belakang dengan batik Pekalongan yang memiliki beragam warna sesuai karakter masyarakatnya yang terbuka, bebas dan sangat marjinal. Batik Pekalongan menggambarkan ciri kehidupan masyarakat pantai yang mudah mengadaptasi pengaruh budaya luar dan juga mampu mengadaptasi pengaruh batik pedalaman.
Pengaruh Dari Luar
Batik Encim Pekalongan
Batik Encim Pekalongan
Perjumpaan masyarakat Pekalongan dengan berbagai bangsa seperti Tiongkok, Belanda, Arab, India, Melayu dan Jepang pada zaman lampau telah mewarnai dinamika pada motif dan tata warna seni batik Pekalongan. Sehubungan dengan itu beberapa jenis motif batik hasil pengaruh dari berbagai negara tersebut yang kemudian dikenal sebagai identitas batik Pekalongan. Motif itu, yaitu batik Jlamprang, diilhami dari Negeri India dan Arab. Lalu batik Encim dan Klengenan, dipengaruhi oleh orang Tionghoa. Batik Belanda, batik Pagi Sore, dan batik Jawa Hokokai, tumbuh pesat sejak pendudukan Jepang. 
Batik Jlamprang diilhami dari India dan Arab. Batik Encim dan Klengenan dipengaruhi dari peranakan Tionghoa. Batik Pagi Sore diilhami dari Belanda dan Batik Jawa Hokokai diilhami dari Jepang. Perkembangan budaya tehnik cetak motif tutup celup dengan menggunakan malam (lilin) di atas kain pada batik Pekalongan memang tidak lepas dari pengaruh negara-negara tersebut.
Tinjauan Antropologi Pekalongan
Perkembangan batik Pekalongan tidak sepenuhnya dikuasai pengusaha bermodal besar, akan tetapi bertopang pada ratusan pengusaha kecil dan hampir semua dikerjakan di rumah-rumah. Batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat, dan menjadi salah satu khasanah batik tradisional Indonesia. Penduduk Pekalongan berdasarkan asal keturunan/etnisnya dapat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu penduduk asli/pribumi, penduduk dari suku bangsa Indonesia yang lain, orang-orang Tionghoa, orang-orang Arab baik yang sudah menjadi WNI maupun yang masih WNA, dan orang asing.
Masyarakat Pekalongan dilihat dari perbedaan etnis terdiri dari tiga kelompok, yaitu kelompok etnis Jawa, Arab dan Tionghoa. 
Etnis Jawa
Kelompok etnis Jawa di bagi ke dalam tiga kelompok sosial yang masing-masing memiliki ciri tersendiri. Tiga kelompok sosial itu yaitu :
Wong kaji
Wong kaji merupakan golongan para haji yaitu orang yang telah melaksanakan ibadah haji, mengunjungi Baitullah (ka‟bah) di Mekkah, melakukan ibadah kepada Allah SWT pada waktu tertentu dengan cara tertentu secara tertib sebagai rukun Islam kelima. Wong kaji berperan dalam kehidupan beragama terutama dalam agama Islam, karena dianggap telah melaksanakan kesempurnaan ibadah rukun Islam. Bagi seorang muslim, ibadah haji merupakan kewajiban bagi yang mampu, sekali seumur hidup. Sehingga seorang muslim akan berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melaksanakan kewajiban itu. Kondisi ini merupakan motivasi dan dorongan bagi pengusaha muslim untuk bekerja keras, berhemat, mengatur keuangan, membelanjakan sesuai keperluan, menabung dan penuh perhitungan yang sangat teliti. Posisi wong kaji dalam masyarakat dianggap terhormat karena dianggap orang yang tahu atau alim, berinisiatif membangun kemajuan dan memiliki modal dalam usaha pembatikan.
Wong priyayi
Pada umumnya merupakan orang yang menjabat sebagai pegawai negeri. Wong Priyayi biasanya mempunyai jabatan atau menjadi pegawai negeri dan disegani oleh masyarakt feodal di Pekalongan.
Wong cilik atau wong biasa
Terdiri dari para pekerja atau buruh, meliputi buruh-buruh pada perusahaan tekstil dan pembuatan batik tulis, nelayan, petani dan para tukang. Wong cilik seringkali dihubungkan dengan usaha pembatikan yang termasuk wong cilik adalah pembatik tulis, tukang celup, tukang ketel, tukang colet, tukang lorod, tukang kuwuk, dan pembuat batik cap. Wong cilik di Pekalongan memproduksi batik yang disebut batik Pegon dengan daerah penghasilnya Kalimati, Kletan dan Paesan. 
Etnis Tionghoa
Kelompok etnis Tionghoa di Pekalongan diperkirakan telah menetap sejak abad XVI. Daerah asal mereka adalah Kwantun atau Fukien di daerah Tiongkok  Selatan yang merupakan daerah pantai. Mereka melakukan migrasi karena faktor sosial ekonomis seperti tekanan yang terjadi karena padatnya penduduk di Tiongkok sehingga sulit mendapatkan mata pencaharian. Mereka kemudian melakukan penyesuaian dengan penduduk setempat salah satunya melakukan perkawinan. Dari perkawinan campuran dengan penduduk pribumi, unsur-unsur kebudayaan daerah Pekalongan mempengaruhi tata cara kehidupan sosial mereka. Setelah orang Tiongkok banyak berdatangan ke Pekalongan, pengaruh unsur kebudayaan Pekalongan berkurang terhadap tata cara kehidupan sosial orang Tionghoa.
Pada umumnya orang Tionghoa di Pekalongan menduduki lapisan masyarakat tingkat bawah seperti menjadi tukang, pedagang kecil dan menjadi kuli di berbagai perusahaan. Berdasarkan kepercayaan yang dianutnya, maka orang Tionghoa di Pekalongan umumnya menganut ajaran Kon Fu Tze atau Kristen.
Di Pekalongan, orang-orang Tionghoa pada umumnya telah menjadi warga negara Indonesia atau WNI. Mereka dominan memegang perekonomian terutama dalam bidang perdagangan bahan-bahan untuk pembatikan, pengusaha batik, pengusaha tekstil dan menjalankan berbagai toko.
Etnis Arab
Kelompok etnis Arab diperkirakan datang ada abad XV, bersamaan dengan masa perkembangan pertama agama Islam di Indonesia. Kedatangan orang-orang Arab ke Jawa didorong oleh usaha perdagangan untuk mencari daerah yang memungkinkan usaha mereka berkembang. Dengan mengenal dan mengetahui daerah asal barang yang dibutuhkan diharapkan mereka dapat menjual barang dengan harga lebih murah. Lama kelaman orang-orang Arab menetap di daerah pesisir utara Jawa sebagai daerah yang ramai oleh lalu lintas perdagangan. Pada orang-orang Arab di Pekalongan terdapat kelompok yang menyebut dirinya Hadarom yaitu orang Arab yang berasal dari Hadramaut. Ada juga yang menamakan dirinya Baal-wi sebagai keturunan langsung dari Nabi Muhammmad. Mereka memakai gelar Sayyid atau Habib. Orang Arab yang dilahirkan di Indonesia disebut Mual’at sedangkan orang Arab yang masih menjadi warga negara asing disebut Ulaiti. Orang-orang Arab di Pekalongan memakai sebutan Bin untuk menunjukkan dasar ikatan keluaga yang diambil dari garis keturunan Ayah. 
Orang Arab lebih dapat menyesuaikan diri dengan penduduk setempat karena faktor kesamaan agama dan mereka mempunyai pembawaan untuk dapat menyesuaikan diri kepada kebudayaan lain bila terdapat kesempatan untuk melakukannya. Orang Arab di Pekalongan berpusat di daerah Kampung Arab dan Desa Lego. Kebanyakan bermata pencaharian sebagai pedagang, penjual bahan-bahan pembatikan dan tekstil.
Seperti halnya daerah pantai utara jawa dimana Pekalongan sebagai pusat perkembangan batik. Pelaku perbatikan di Pekalongan di lakukan oleh tiga kelompok yaitu etnis China, etnis Arab dan Belanda.
Ragam Hias Batik Pekalongan
Batik Jlamprang, Batik Pekalongan pengaruh India & Arab
Batik Jlamprang, Batik Pekalongan pengaruh India & Arab
Perkembangan budaya tehnik cetak motif tutup celup dengan menggunakan malam (lilin) di atas kain yang kemudian disebut batik, memang tak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya-budaya bangsa pendatang seperti Tionghoa, Arab dan India. Ini memperlihatkan konteks kelenturan batik dari masa ke masa. Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik Pekalongan dikerjakan di rumah-rumah. Akibatnya, batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kotamadya Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan.
Batik Jlamprang diilhami dari India dan Arab. Batik Encim dan Klengenan dipengaruhi dari peranakan Tiongkok. Batik Pagi Sore diilhami dari Belanda dan Batik Jawa Hokokai diilhami dari Jepang. Perkembangan budaya tehnik cetak motif tutup celup dengan menggunakan malam (lilin) di atas kain, memang tidak lepas dari pengaruh negara-negara tersebut.
Penduduk pribumi yang semula merupakan buruh atau pekerja pada pedagang Tionghoa lambat laun mampu memproduksi batik sendiri bahkan kemudian berkembang tidak hanya menjadi pembatik rumahan tetapi sebagian mampu berkembang menjadi pengusaha batik. Tumbuhnya para pengusaha batik pribumi telah memperkaya ragam hias batik Pekalongan karena mereka menampilkan pola campuran yang memperkaya ragam hias batik asli dari masing-masing budaya. Pertemuan ketiga unsur dari masyarakat pembatikan Pekalongan ini akhirnya menjadi bagian terbesar dari ciri khas batik Pekalongan dengan segala ragam warna-warninya Contoh ragam batik Pekalongan yang merupakan campuran ragam hais adalah ragam hias salur pandan, bunga persik dan bunga rose dengan stirilisasi burung pipit serta burung merak yang bercorak Tionghoa mendapat isen latar pola kawung, gringsing atau parang yang merupakan pola asli tradisional.
Menurut gaya dan seleranya, serta dilihat dari segi ragam hiasnya maupun tata warnanya, batik daerah Pekalongan dapat digolongkan dalam 3 golongan:
Batik Encim
Batik Semarangan  Motif  Kembang Cengkeh
Batik Semarangan  Motif  Kembang Cengkeh
Batik Encim dikenal dengan tatawarna khas Tiongkok, dan sering mengingatkan pada benda-benda porselin Cina. Batik encim Pekalongan tampaknya condong pada tata warna porselin famille rose, famille verte dan sebagainya. Ragam hiasnya dapat digolongan atas tiga jenis ragam hias yaitu :

  • Ragam hias buketan, yang biasanya memiliki tata warna famili rose, famili verte dan sebagainya.
  • Ragam hias simbolis kebudayaan Tiongkok dengan motif seperti burung hong (kebahagiaan), naga ( kesiagaan), banji (kehidupan abadi), kilin (kekuasaan), kupu-kupu dan beberapa lagi.
  • Ragam hias yang bercorak lukisan, seperti arakan pengantin Tionghoa ada pula yang bercorak yang diilhami oleh cerita/dongeng misalnya Batik Sam Pek Eng Tay.
Pemilihan warna yang mencolok dari batik Pekalongan tampaknya tidak sekedar sebagai pelengkap pola hias. Selain pengaruh warna biru putih keramik Tiongkok dari dinasti Ming yang diproduksi abad XVII –XVIII, diproduksi pula batik-batik dengan berbagai warna. Pengkespresian warna ke dalam benda-benda yang memiliki mitos kosmologi itu menerangkan tentang proses penciptaan alam jagad raya yang melibatkan dua kekuatan yaitu ying dan yang.
Batik encim juga mendapat pengaruh dari batik Solo-Jogya antara lain batik Cempaka Mulya yang merupakan kain batik untuk pengantin Tionghoa. Yang menarik lagi adalah penggunaan ragam hias tanahan (latar) batik Encim dari daerah Pekalongan yang dinamakan Semarangan. Yang termasuk ragam hias Semarangan antara lain kembang cengkeh, grindilan dan semacamnya.
Batik Belanda
Motif Buketan Bunga Batik Belanda
Motif Buketan Bunga Batik Belanda
Kain batik Pekalongan yang bergaya dan berselerakan Belanda, antara lain batik dari juragan batik E. van Zuylen, Metz, Yans dan beberapa nama 
lagi. Namun yang sangat terkenal adalah batik Van Zuylen. Kebanyakan batik yang bergaya Belanda ini umumnya merupakan kain sarung. Mungkin hal ini dikarenakan kain sarung lebih mudah pemakainnya bagi kaum pendatang. Dalam kelompok batik ini terlihat ragam hias buketan yang biasanya terdiri dari flora yang tumbuh dinegeri Belanda seperti bunga krisan, buah anggur, dan rangkaian bunga Eropa. Dikenal juga ragam hias kartu bridge yang merupakan permainan kartu dari kalangan pendatang barat. Juga terdapat ragam hais berupa lambang bagi masyarakat eropa antaralain cupido (lambang cinta), tapak kuda dan klavderblad (lambang keberuntungan) dan juga ragam hias yang berasal dari cerita / dongeng misalnya putri salju, cinderella dan lain-lain.
Batik Pribumi
Disamping batik yang bergaya Tionghoa dan Belanda ini ada pula batik yang berselerakan pribumi. Batik bergaya pribumi ini umunya sangat cerah dan meriah dalam tata warnanya. Tak jarang pada sehelai kain batik dijumpai 8 warna yang sangat berani, tetapi sangat menakjubkan serta secara keseluruhan sangat menarik. Ragam hiasnya sangat bebas, meskipun disini banyak terlihat ragam hias tradisional batik kraton dari Solo-Yogya seperti ragam hias lar, parang, meru dan lain-lain yang telah mengalami sedikit perubahan dalam gayanya. Ragam hias yang dikembangkan oleh pribumi antara lain Merak kesimpir, Tambal, Jlamprang yang mempunyai kemiripan dengan ragam hias dari Solo-Jogya, ragam hias Terang bulan, dan batik dengan ragam hias tenunan palekat. Beberapa orang yang ikut mengembangkan batik Pekalongan pada jaman sebelum kemerdekaan adalah Ny. Barun Mohammad, Ny.Sastromuljono, dan Ny.Fatima Sugeng.
Perbedaan karakteristik batik Pekalongan juga dapat dilihat dari cara atau tehnik pewarnaan. Ketika daerah lain masih menggunakan tehnik celup (dipping technique) dalam hal pewarnaan, maka selain tehnik tersebut, tehnik melukis (natural brushing technique) juga sudah digunakan oleh para pengrajin. Tehnik pewarnaan ini mulai digunakan semenjak bahan pewarna masuk dalam industri batik di Pekalongan. Sistem melukis ini mempermudah dalam mencapai warna yang dikehendaki pada saat yang bersamaan, sehingga setiap detail ragam hias dapat dilukis dan diwarnai dengan cepat dan sempurna sesuai dengan aslinya. Tehnik pewarnaan dengan menggunakan kuas ini bukan suatu yang baru sebab tehnik tersebut erat kaitannya dengan pengaruh tehnik pewarnaan sutra dan porselin dari bangsa Tiongkok.

BUKU KAMI DI GOOGLE BOOKS

title

BUKU NOVEL KOMEDI ANAK SEKOLAH
 
Support : Batik Tradisional Indonesia | Motif Batik | Keanekaragaman Batik
Copyright © 2013. Batik Tradisional Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by BatikDan
Proudly powered by Blogger