Batik Jawa Hokokai

Batik Jawa Hokokai
Batik Jawa Hokokai
Batik Jawa Hokokai adalah batik yang diproduksi orang Tionghoa dengan pola dan warna yang dipengaruhi budaya Jepang dengan latar pola batik keraton. Batik ini mulai berkembang pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ragam hias yang biasanya ada pada batik Jawa Hokokai adalah bunga sakura, krisant, dahlia dan anggrek dalam bentuk buketan atau lung-lungan dan ditambah ragam hias kupu-kupu, selain itu ada pula ragam hias burung merak yang memiliki arti keindahan dan keagungan.
Batik Jawa Hokokai diciptakan para pengusaha Tionghoa dengan tujuan menyesuaikan diri dengan pemerintahan Jepang. Nama Jawa Hokokai diambil dari nama organiosasi yang membantu kegiatan Jepang menciptakan kemakmuran di Asia yang dalam berbagai kegiatan bekerjasama dengan orang Jawa. Salah satu kegiatan pemerintah penjajahan Jepang adalah memesan batik kepada pengusaha batik Pekalongan dan menghadiahkannya kepada orang-orang Indonesia yang banyak berjasa pada Jepang. Salah satu penataan ragam hias yang sangat jelas menunjukkan pengaruh Jepang adalah bagian pola yang disebut Susomoyo yaitu pola pinggiran yang tediri atas ragam hias bunga dan kupu-kupu yang diatur dari pojok ke arah bawah atau pojok bawah kearah samping seperti tata susun pola kimono. Batik Jawa Hokokai dibuat dalam bentuk batik pagi-sore sebagai akibat kelangkaan bahan batik pada Perang Dunia II dan sampai sekarang terus bertaha dalam bentuk itu. 
Contoh batik dengan pengaruh Jepang adalah : 
Batik pengaruh Jepang dengan pola Parang dan kawung
Batik pengaruh Jepang dengan pola Parang dan kawung
Batik pengaruh Jepang dengan pola Bunga Kupu dan Lereng Bunga
Batik pengaruh Jepang dengan pola Bunga Kupu dan Lereng Bunga
Daerah perkembangan batik Jawa Hokokai hanya dibuat oleh pengusaha batik Pekalongan sampai akhir tahun 1945. Batik ini digemari sampai tahun 1950 dengan nama Djawa Baru. Perkembangan selanjutnya batik ini menerapkan pola Jlamprang dan Tirtareja, dan parang sebagai isen latar yang dipadu dengan warna sesuai selera orang Indonesia. 
Contoh batik Djawa Baru adalah : 
Batik Djawa baroe dengan pola Tirtateja dan Jlamprang
Batik Djawa baroe dengan pola Tirtateja dan Jlamprang
Hermen C Veldhuisen dalam Fabric of Enchantment, Batik from the North Coast of Java, secara singkat menyebut batik Hokokai dibuat di bengkel-bengkel milik orang Indo-Eropa, Indo-Arab, dan Peranakan, yang diharuskan bekerja untuk orang-orang Jepang karena kualitas pekerjaan bengkel mereka yang sangat halus. Sedangkan kain katunnya dipasok oleh orang-orang yang ditunjuk oleh tentara pendudukan Jepang. Ciri-ciri kain panjang pada masa ini menurut Veldhuisen adalah penuhnya motif bunga pada kain tersebut. Meskipun gaya batik ini disebut sebagai diperkenalkan oleh dan untuk Jepang, tetapi sebetulnya gaya ini sudah muncul beberapa tahun sebelumnya. Bengkel kerja milik orang Peranakan di Kudus dan Solo pada tahun 1940 sudah menggunakan motif buketan yang berulang, dengan latar belakang yang sangat padat dan disebut sebagai buketan Semarangan. Kain-kain ini dibuat untuk Peranakan kaya di Semarang. Meskipun begitu, Veldhuisen menyebutkan batik Hokokai adalah salah satu contoh gaya batik yang paling banyak berisi detail, menggabungkan ciri pagi-sore, motif terang bulan, dan tanahan Semarangan. Batik Hokokai menggunakan latar belakang yang penuh dan detail yang digabungkan dengan bunga-bungaan dalam warna-warni yang cerah. Motif terang-bulan awalnya adalah desain batik dengan motif segi tiga besar menaik secara vertikal di atas latar belakang yang sederhana.
 Meskipun buku-buku tentang batik umumnya hanya menyebut sekilas saja tentang batik Jawa Hokokai, tetapi Yayasan Gedung Arsip Nasional berhasil menyusun katalog pameran dengan menggunakan informasi dari nara sumber yang masih ada. Mereka adalah kolektor batik atau juragan pembuat batik, seperti Ny Eiko Adnan Kusuma, Ny Nian Djoemena yang menulis beberapa buku tentang kain Indonesia, dan Iwan Tirta yang artis batik.
 Kain-kain batik Jawa Hokokai yang dipamerkan di Gedung Arsip Nasional itu hampir semuanya merupakan batik pagi-sore dengan warna yang cemerlang. Kupu-kupu merupakan salah satu motif hias yang menonjol selain bunga. Meskipun kupu-kupu tidak memiliki arti khusus untuk masyarakat Jepang, tetapi orang Jepang sangat menyukai kupu-kupu. Namun, kupu-kupu dianggap bukan merupakan pengaruh Jepang, melainkan pengaruh dari juragan Tionghoa yang membuat batik di workshop mereka. Untuk orang Tionghoa, terutama yang berada di Indonesia, kupu-kupu merupakan lambang cinta abadi seperti dalam cerita Sampek Engtay.
 Motif dominan lainnya adalah bunga. Yang paling sering muncul adalah bunga sakura (cherry) dan krisan, meskipun juga ada motif bunga mawar, lili, atau yang sesekali muncul yaitu anggrek dan teratai. Motif hias yang sesekali muncul adalah burung, dan selalu burung merak yang merupakan lambang keindahan dan keanggunan. Motif ini dianggap berasal dari Tiongkok dan kemudian masuk ke Jepang.
 Hampir semua batik Jawa Hokokai memakai latar belakang (isen-isen) yang sangat detail seperti motif parang dan kawung di bagian tengah dan tepiannya masih diisi lagi dengan misalnya motif bunga padi. Menurut Tamalia, itu menggambarkan suasana saat itu di mana kain sangat terbatas sehingga pembatik memiliki banyak waktu untuk mengerjakan selembar kain dengan ragam hias yang padat. Sebagian batik Hokokai ada yang menggunakan susumoyo yaitu motif yang dimulai dari salah satu pojok dan menyebar ke tepi-tepi kain tetapi tidak bersambung dengan motif serupa dari pojok yang berlawanan. 
 Meskipun namanya berbau Jepang dan muncul pada masa pendudukan Jepang, tetapi menurut Tamalia batik Hokokai tidak diproduksi untuk keperluan Jepang melainkan untuk orang-orang Indonesia sendiri. Batik-batik itu awalnya dipesan oleh orang dari lembaga Jawa Hokokai untuk orang-orang Indonesia yang dianggap berjasa dalam propaganda Jepang. Kemudian batik seperti ini menjadi mode dan banyak orang Indonesia kaya yang ikut membeli batik dengan ciri tersebut. Yang masih menimbulkan pertanyaan, meskipun pendudukan Jepang atas Indonesia dikenang sebagai masa penjajahan yang sangat pahit, tetapi mengapa kepahitan itu tidak muncul dalam ragam hias sama sekali. Justru batik Jawa Hokokai memberi kesan umum sebuah kegembiraan dengan warna yang cerah, bunga, kupu-kupu, merak. Di sini, memang masih diperlukan riset lebih jauh mengenai batik ini.
Jawa baru
  Setelah Perang Dunia II usai, Jepang takluk dan angkat kaki dari Indonesia, batik sebagai industri mengalami masa surut. Namun, motif-motif batik terus berkembang, mengikuti suasana. Ketika itu juga muncul istilah seperti batik nasional dan batik Jawa baru. Batik Jawa baru bisa disebut sebagai evolusi dari batik Hokokai. Pada tahun 1950-an batik yang dihasilkan masih menunjukkan pengaruh batik Hokokai yaitu dalam pemilihan motif, tetapi isen-isen-nya tidak serapat batik Hokokai.
  Artis batik yang kembali mengangkat kembali motif Hokokai adalah Iwan Tirta. Pada tahun 1980-an Iwan menginterpretasi ulang motif batik Jawa Hokokai dalam bentuk desain yang baru. Ia memperbesar motif bunga seperti krisan dan mawar serta menambahkan serbuk emas 22 karat sebagai cara untuk mempermewah penampilan batik tersebut. Untuk pergelarannya pada akhir tahun ini, Iwan juga membuat motif kupu-kupu dalam ukuran besar.
  Batik memang bukan asli seni membuat ragam hias khas Indonesia, hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari luar yang mempengaruhi ragam hiasnya. Tetapi sejarah dan perkembangan batik menunjukkan bahwa batik Indonesia masih yang terbaik.