Batik Lasem

Batik Lasem Motif Naga
Lasem adalah salah satu daerah yang terletak di pantai utara pulau Jawa, di mana menurut beberapa ahli sejarah merupakan tempat pertama kali para pedagang dari Tiongkok mendarat di Indonesia. Dari Lasem kemudian mereka menyebar ke Kudus, Demak dan daerah-daerah lainnya. Sebagian dari para pedagang Tiongkok tersebut kemudian menetap di Lasem, oleh karena itu sampai sekarang masih dapat dijumpai rumah-rumah tua berpagar tembok yang tinggi dengan tata bangunan khas Tiongkok kuno. Lahirnya Batik Lasem tentu tidak terlepas dari sejarah dan perkembangan keberadaan orang-orang Tionghoa di Lasem. Namun demikian, sejauh ini belum banyak diketahui secara pasti tentang sejarah kapan dimulainya pembatikan di Lasem. Dokumentasi sejarah dan budaya serta tenaga ahli budaya Batik Lasem sangat langka dijumpai.
Salah satu versi mengenai sejarah awal keberadaan Batik Lasem adalah berasal dari Serat Badra Santi dari Mpu santi Badra yang ditulis pada tahun 1479 Masehi dan diterjemakan oleh U.P Ramadharma S. Reksowardojo pada tahun 1966, yang menyatakan bahwa pada tahun 1335 Saka (1413 Masehi), salah seorang nakhoda kapal dari armada laut kekaisaran Ming di Tiongkok di bawah pimpinan Laksamana Cheng ho (digelari Ma Sam Po atau Dampu Awang) yang bernama Bi Nang Un, mendarat bersama istrinya yang bernama Na Li Ni di pantai Regol Kadipaten Lasem yang sekarang disebut sebagai pantai Binangun. Bi Nang Un adalah seorang yang berasal dari Campa yaitu salah satu nama wilayah di Indocina sekitar Vietnam, Kamboja dan Laos yang pada saat itu menjadi bagian wilayah kekaisaran Dinasti Ming.
Kapal Ekspedisi Laksamana Cheng Ho
Na Li Ni adalah seorang yang menyukai dan menguasai berbagai kesenian seperti seni tari dan seni membatik. Saat Putri Na Li Ni mendarat di Lasem, ia melihat sebagian besar rakyat di Lasem hidup sangat miskin. Kemudian Na Li Ni tergerak untuk mengajarkan seni membatik dan seni menari kepada putra-putrinya serta para remaja putri lainnya di Taman Banjar Mlati Kemadhung dan mulai memikirkan agar dapat membatik dengan baik dan lebih berseni.
Dalam perkembangan kemudian, masyarakat Lasem terutama yang Tiong Hoa banyak yang menjadi pengusaha batik sehingga pada saat itu hampir seluruh pengusaha batik di Lasem adalah merupakan keturunan Tiong Hoa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika motif dan pewarnaan Batik Lasem lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Tiongkok. Namun kini, menjadi pengusaha batik tidak hanya ditekuni oleh masyarakat keturunan Tionghoa saja tetapi juga ditekuni oleh masyarakat Jawa.
Salah satu karakteristik yang menonjol dari Batik Lasem adalah karena batik Lasem merupakan hasil akulturasi budaya Tiongkok di pesisir pulau Jawa.
Batik Lasem Klasik
Namun demikian, Batik Lasem berbeda dengan batik Encim dari Pekalongan terutama dalam tatawarnanya yang lebih mengacu pada tatawarna benda-benda porselin dari Dinasti Ming seperti warna merah, biru, merah biru, merah-biru dan hijau. Selain itu pemberian nama pada sehelai kain Batik Lasem pada umumnya berdasarkan tatawarnanya dan bukan berdasarkan pada ragam hias seperti pada penamaan batik dari daerah lain di Indonesia. Oleh karena itu, terdapat istilah Bang-bangan, kelengan, Bang biru, Bang-biru-ijo. Tatawarna ini merupakan khas batik Tionghoa Lasem dimana umumnya tidak terdapat warna sogan. Batik Lasem terkenal akan warna merahnya yang menyamai warna merah darah dan hanya bisa ditemukan pada pembatikan di Lasem. Warna merah khas Lasem (abang getih pithik) dihasilkan dari pewarna alam yang berasal dari akar pohon mengkudu (pace). Oleh sebab itu, banyak batik dari daerah lain yang warna merahnya dicelupkan di Lasem seperti misalnya batik Gondologiri dari Solo dan batik tiga negeri yang ketiga warnanya dicelupkan ditempat yang berbeda-beda, yaitu warna sogan di Solo, warna merah di Lasem dan warna biru di Pekalongan.
Untuk pembuatan sehelai kain batik tulis Lasem diperlukan waktu yang cukup lama yaitu antara tiga sampai enam bulan dan baru dapat dipasarkan. Hal ini mengingat alat-alat yang dipakai masih sangat tradisional dan semua tahapan pembuatannya dilakukan dengan menggunakan tangan.
Batik Lasem Modern Motif  Naga
Batik Lasem terdiri dari dua jenis, yaitu batik Lasem kuno dan batik Lasem modern. Batik Lasem kuno dibuat sekitar abad 20. Semua kain batik tersebut merupakan kain batik tulis dan masih menggunakan pewarna alami.  Batik Lasem modern adalah batik Lasem yang dibuat setelah kemerdekaan Indonesia, masih mempertahankan tehnik batik tulis namun sudah menggunakan pewarna kimia.
Berdasarkan hasil analisis pada batik Lasem modern ditemukan motif yang serupa dengan motif batik Lasem kuno, seperti motif pohon hayat dari India dan motif buketan dari Belanda. Hal ini menunjukkan penerapan ragam hias batik Lasem kuno dengan batik Lasem modern masih memiliki hubungan yang erat. Sama halnya dengan batik Lasem kuno, batik Lasem modern juga masih memadukan beberapa unsur budaya asing di dalamnya, salah satu budaya yang paling berpengaruh adalah budaya Tiongkok. Selain itu batik Lasem kuno dan Batik Lasem modern hingga saat ini masih mempertahankan teknik canting dalam proses membatik. Meskipun demikian pengusaha batik Lasem pernah memproduksi batik cap, tetapi karena tidak mampu bersaing dengan batik printing dari daerah lain, maka pengusaha tersebut kembali menggunakan teknik membatik tradisional yaitu menggunakan canting dalam proses membatik. Batik tulis yang diproduksi memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan batik cap maupun printing, selain itu juga memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Oleh karena itu, teknik yang menggunakan canting tersebut masih dipertahankan hingga saat ini.
Batik Lasem kuno merupakan batik yang dibuat sekitar abad ke-14 sampai dengan sebelum kemerdekaan RI, sedangkan batik Lasem modern merupakan batik yang dibuat setelah kemerdekaan RI sampai dengan saat ini. Sampel batik Lasem kuno yang penulis peroleh dibuat sekitar abad ke-20. Berdasarkan data-data tersebut dapat dilihat bahwa batik Lasem kuno merupakan perpaduan dari beberapa budaya, yaitu budaya Champa, India, Belanda, Jawa, serta budaya yang paling berpengaruh adalah budaya Tiongkok. Hal ini dikarenakan dahulu para pengusaha batik Lasem pada umumnya adalah keturunan Tiongkok, konsumen mereka pun sebagian besar adalah keturunan Tiongkok di Lasem atau di daerah lainnya, oleh karena itu motif yang digunakan adalah motif-motif yang berasal dari budaya mereka sendiri. Motif yang sering digunakan adalah motif yang melambangkan keberuntungan, kebahagiaan, kesehatan, dsb. Beda halnya dengan batik Lasem modern yang banyak menggunakan ragam hias baru seperti latohan, gunung ringgit, kricak, dll. Motif-motif baru tersebut menjadikan kehidupan sosial masyarakat di Lasem sebagai sumber inspirasi.
Berdasarkan sampel yang ada, dapat diketahui bahwa pembatik zaman dulu sangat mementingkan kualitas kain batik. Hal ini dapat dilihat dari gambar yang sangat halus yang dibuat melalui teknik canting, serta warna lembut yang diperoleh dari bahan pewarna alami yang memerlukan proses yang cukup lama dalam pengerjaannya. Batik Lasem modern tidak memerlukan waktu yang lama dalam pengerjaannya dan motif yang digambarkan pada batik Lasem modern pun sudah tidak sehalus batik Lasem kuno. Hal ini disebabkan karena para pembatik saat ini lebih mementingkan nilai ekonomi. Selain itu, batik Lasem modern sudah menggunakan bahan pewarna kimia yang akan membuat proses pembatikan menjadi lebih cepat dan praktis, sehingga mereka akan semakin cepat mendapat keuntungan.
Hasil akhir kain batik Lasem kuno pada umumnya dijadikan sebagai kain panjang ataupun sarung. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai tokwi untuk keperluan sembahyang, seprei ataupun tirai pintu yang digunakan saat upacara pernikahan. Begitu juga dengan hasil akhir kain batik Lasem modern yang masih dapat dijadikan sebagai kain panjag maupun sarung. Tetapi seiring perkembangan zaman, hasil akhir kain batik Lasem modern dapat dibuat sebagai bahan baku untuk membuat pakaian ataupun tas.