|
Membatik Tulis |
Proses membuat
batik secara tradisonal ini dari dahulu tidak mengalami banyak perubahan sampai sekarang. Melihat dari bentuk dan fungsinya peralatan batik ini cukup tradisional dan unik, sesuai dengan caranya yang masih tradisional. Peralatan batik tradisional ini merupakan bagian dari batik tradisional itu sendiri karena bila dilakukan perubahan dengan menggunakan alat/mesin yang lebih modern maka akan merubah nama batik tradisonal menjadi kain
motif batik. Hal ini menunjukkan bahwa cara membatik ini memiliki sifat yang khusus dengan hasil seni batik tradisional. Bila dilihat dari segi waktu dan jumlah yang dihasilkan yang sangat terbatas serta hasil seni dari coretan canting pada
kain mori akan menghasilkan seni batik yang bernilai tinggi dan harga yang relatif mahal.
Adapun peralatan yang digunakan dalam membuat batik tulis adalah sebagai berikut:
A. Bandul
|
Bandul |
Bandul dibuat dari timah, atau kayu, atau batu yang dikantongi. Fungsi pokok bandul ialah untuk menahan mori yang baru dibatik agar tidak mudah tergeser ditiup angin, atau tarikan si pembatik secara tidak disengaja. Jadi tanpa bandul pekerjaan membatik dapat dilaksanakan.
B. Canting
|
Canting |
Canting merupakan alat untuk melukis atau menggambar dengan coretan
lilin malam pada kain mori. Canting ini sangat menentukan nama batik yang akan dihasilkan menjadi batik tulis. Alat ini terbuat dari kombinasi tembaga dan kayu atau bambu yang mempunyai sifat lentur dan ringan.
|
Dingklik |
Dingklik merupakan tempat duduk orang yang membatik, tingginya disesuaikan dengan tinggi orang duduk saat membatik.
D. Gawangan
|
Gawangan |
Gawangan terbuat dari kayu atau bamboo yang mudah dipindah-pindahkan dan kokoh. Fungsi gawangan ini untuk menggantungkan serta membentangkan kain mori sewaktu akan dibatik dengan menggunakan canting.
E. Wajan
Wajan ialah perkakas untuk mencairkan “malam” (lilin untuk membatik). Wajan dibuat dari logam baja, atau tanah liat. Wajan sebaiknya bertangkai supaya mudah diangkat dan diturunkan dari perapian tanpa mempergunakan alat lain. Oleh karena itu wajan yang dibuat dari tanah liat lebih baik daripada yang dari logam karena tangkainya tidak mudah panas. Tetapi wajan tanah liat agak lambat memanaskan “malam”.
F. Anglo (Kompor)
|
Anglo dan Wajan |
Anglo dibuat dari tanah liat, atau bahan lain. Anglo ialah alat perapian sebagai pemanas “malam”. Kompor dibuat dari Besi dengan diberi sumbu.. Apabila mempergunakan anglo, maka bahan untuk membuat api ialah arang kayu. Jika mempergunakan kayu bakar anglo diganti dengan keren; keren inilah yang banyak dipergunakan orang di desa-desa. Keren pada prinsipnya sama dengan anglo, tetapi tidak bertingkat.
G. Tepas
|
Tepas |
Tepas ini tidak dipergunakan jika perapian menggunakan kompor. Tepas ialah alat untuk membesarkan api menurut kebutuhan; terbuat dari bambu. Selain tepas, digunakan juga ilir. Tepas dan ilir pada pokoknya sama, hanya berbeda bentuk. Tepas berbentuk empat persegi panjang dan meruncing pada salah satu sisi lebarnya dan tangkainya terletak pada bagian yang runcing itu.
H. Taplak
Taplak berfungsi untuk menutup dan melindungi paha pembatik dari tetesan lilin malam dari canting.
|
Kemplongan |
Kemplongan merupakan alat yang terbuat dari kayu yang berbentuk meja dan palu pemukul alat ini dipergunakan untuk menghaluskan kain mori sebelum diberi pola motif batik dan dibatik.
Mengolah mori sebelum dibatik
|
Mencuci Mori |
Sebelum dibatik mori harus diolah lebih dahulu. Baik buruknya pengolahan akan menentukan baik buruknya kain. Pengolahan mori adalah sebagai berikut: Mori yang sudah dipotong diplipit. Diplipit ialah dijahit pada bekas potongan supaya benang “pakan” tidak terlepas. Benang pakan ialah benang yang melintang pada tenunan. Setelah diplipit kemudian dicuci dengan air tawar sampai bersih. Kalau mori kotor, maka kotoran itu akan menahan meresapnya cairan lilin (malam yang dibatikkan) dan menahan cairan warna pada waktu proses pembabaran. Di daerah Yogyakarta dan Surakarta mori dijemur sampai kering setelah dicuci. Tetapi didaerah Blora, setelah dicuci berih mori terus direbus.
Setelah wantu panas, mori bersih dimasukkan kedalamnya. Cara memasukkan mori kedalam wantu mulai dari ujung sampai pangkal secara urut. Rebusan memakan waktu beberapa menit. Mori kemudian diangkat dan dicuci untuk menghilangkan kotoran sewaktu direbus.
|
Penjemuran Mori |
Selesai dicuci barulah dijemur sampai kering. Mori menjadi lemas; kemudian dikanji. Bahan kanji adalah beras. Didaerah Blora dipakai sembarang beras asalkan putih. Beras direndam beberapa saat dalam air secukupnya; kemudian beras bersama airnya direbus sampai mendidih. Air rebusan beras diambil dan dinamakan tajin. Mori kering dimasukkan kedalam tajin sampai merata; tanpa diperas langsung dijemur supaya kering. Akhirnya mori menjadi kaku. Setelah mori lembab, kemudian dikemplong. Dikemplong ialah dipukuli pada tempat tertentu dengan cara tertentu pula, supaya benangbenang menjadi kendor dan lemas, sehingga cairan lilin dapat meresap. Cara mengemplong mori. Disediakan kayu kemplongan sebagai alas dan alu pemukul atau “ganden” (ganden ialah martil agak besar terbuat dari kayu). Mori dilipat memanjang menurut lebarnya. Lebar lipatan lebih kurang setengah jengkal; kemudian ditaruh diatas kayu dasar memanjang, lalu dipukul-pukul. Jika perlu dibolak-balik agar pukulan menjadi rata.
|
Pengemplongan |
Setelah dikemplong, tinggal menentukan motif batikan yang dikehendaki. Jika ingin motif parang-parangan, atau motif-motif yang membutuhkan bidang-bidang tertentu, maka mori digarisi lebih dahulu. Fungsi penggarisan ini hanyalah untuk menentukan letak motif agar menjadi rapi (lurus). Pembatik yang sudah mahir tidak menggunakan penggarisan. Besar kecilnya garisan tidak sama, tergantung pada motif rencana batikan. Biasanya kayu garisan berpenampang bujursangkar.
Cara memindah kayu penggaris setelah garis pertama ke garis kedua ialah dengan memutar kayu penggaris (membalik), tanpa mengang-katnya. Maka lebar sempitnya ruang antara garis satu sama lain ditentukan oleh banyaknya putaran kayu penggaris. Mori yang dibatik motif semen tidak perlu digarisi, langsung dirangkap dengan pola pada muka mori sebaliknya. Setelah semua itu selesai, barulah dapat dimulai kerja membatik.
Mori yang sudah di kemplongi dan di garisi, apabila akan dibatik dengan motif jenis parang-parangan atau motif lain yang membutuhkan bidang tertentu serta lurus, umumnya di”rujak”. Dirujak artinya membatik tanpa mngunakan pola; orang yang membatik demikian disebut “ngrujak”. Orang yang Ngrujak adalah orang yang sudah ahli. Sedang orang yang baru taraf belajar atau belum lahir biasanya hanya “nerusi” atau “ngisen-ngiseni”. Sedangkan membatikdengan mempergunakan pola sudah diterangkan dimuka. Baik membatik rujak maupun membatik mempergunakan pola biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah ahli, sebab taraf permulaan ini merupakan penentuan burukbaiknya bentuk batikan secara keseluruhan.
B. Persiapan Membatik
a. Keren, atau anglo dan wajan berisi “malam” harus sudah siap untuk mulai membatik. Malam harus sempurna cairnya (malam tua). Supaya lancar keluarnya melalui cucuk canting; selain itu malam dapat meresap dengan sempurna dalam mori. Api dalam anglo atau keren harus dijaga tetap membara, tetapi tidak boleh menyala, karena berbahaya kalau menjilat malam dalam wajan.
b. Mori yang sudah dipersiapkan harus telah berada diatas gawangan dekat keren, anglo. Si pembatik duduk diantara gawangan dan keren atau anglo. Gawangan berdiri disebelah kiri dan keren disebelah kanan pembatik. Orang yang pekerjaannya membatik disebut “pengobeng”.
c. Setelah semuanya beres pembatik memulai tugasnya. Pertama memegang canting. Cara memegang canting berbeda dengan cara memegang pensil, atau pulpen untuk menulis. Perbedaan itu disebabkan ujung cucuk cantingbentuknya melengkung dan berpipa besar, sedang pensil atau pulpen lurus. Memegang canting dengan ujung-ujung ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah seperti memegang pensil untuk menulis, tetapi tangkai canting horizontal, sedangkan pensil untuk menulis dalam posisi condong. Posisi canting demikian itu untuk menjaga agar malam dalam nyamplunga tidak tumpah.
d. Dengan canting itu pengobeng menciduk malam mendidih dalam wajan kemudian dibatikkan diatas mori. Sebelum dibatikkan canting ditiup lebih dahulu cara meniuppun dengan aturan tertentu, agar malam dalam nyamplungan tidak tumpah pada bibir pengobeng.
Canting ditiup dengan maksud :
|
Meniup Canting |
- Untuk mengembalikan cairan malam dalam cucuk kedalam nyamplungan, supaya tidak menetes sebelum ujung canting ditempelkan pada mori.
- Untuk menghilangkan cairan malam yang membasahi cucuk canting; karena cucuk canting yang berlumuran cairan malam akan mengurangi baiknya goresan, terutama ketika permulaan canting diproseskan pada mori.
- Untuk mengontrol cucuk canting dari kemungkinan tersumbat oleh kotoran malam. Kalau tersumbat, maka cairan dalam nyamplungan tidak bersuara, karena udara tidak dapat masuk. Maka lubang ujung cucuk ditusuk memakai ijuk, atau serabut kelapa sampai masuk sepanjang cucuk. Biasanya sesudah ditusuk ditiup kembali, atau langsung dibatikkan pada mori. Keitimewaan menusuk ialah memakai tangan kiri dengan cara tertentu dalam waktu yang cepat.
- Canting yang beres keadaannya baru digoreskan pada mori. Tangan kiri terletak disebalik mori. Sebagai landasan (penguak) mori yang baru digores dengan canting. Jika cari cairan malam dalam nyamplungan habis, atau kurang lancar mungkin karena pendinginan, malam itu dikembalikan kedalam wajan; canting dicidukkan pada cairan malam dalam wajan itu juga. Pengembalian cairan malam yang sudah dingin tadi tidak besar pengaruhnya terhadap malam dalam wajan. Hal itu dilakukan smpai selesai, dan termasuk nemboki.
C. Membatik
Tahap-tahap membatik sepotong mori harus dikerjakan tahap demi tahap. Setiap tahap dapat dikerjakan oleh orang yang berbeda tetapi sepotong mori tidak dapat dikerjakan beberapa orang bersamaan waktu.
Tahap-tahap itu ialah :
a. Membatik Kerangka
membatik kerangka dengan memakai pola disebut “mola”, sedang tanpa pola disebut “ngrujak”. Mori yang sudah dibatik seluruhnya berupa kerangka, baik bekas memakai pola maupun dirujak, disebut “batikkan kosongan”, atau disebut juga “klowongan’. Canting yang dipergunakan ialah canting cucuk sedeng yang disebut juga canting klowongan.
b. Ngisen-iseni
|
Ngisen-Iseni |
Ngisen-iseni dari kata “isi”, maka ngisen-iseni berarti memberi isi atau mengisi. Ngisen iseni dengan mempergunakan canting cucuk kecil disebut juga canting isen canting isen bermacam-macam. Tetapi sepotong mori belum tentu mempergunakan seluruh macam canting isen, tetapi tergantung pada motif yang akan dibuat.Umpama memerlukan bermacam-macam canting isen karena beraneka ragam. Tetapi membatik harus satu persatu, dan setiap bagian harus selesai sebelum bagian lain dikerjakan dengan canting lain misalnya kalau “nyeceki” (membuat motif yang terdiri dari titik-titik), bagian cecekan harus selesai seluruhnya. Kegiatan mengerjakan bagian-bagian mempunyai nama masing-masing; nama tersebut menurut nama canting yang dipergunakan. Proses pemberian nama ialah dengan mengubah nama benda (nama canting) menjadi kata kerja, sedang hasil kerjanya diambil dari nama canting yang dipergunakan. Nama itu ialah : nyeceki yaitu mempergunakan canting cecekan, hasilnya bernama cecekan. Neloni ialah mempergunakan canting Telon, hasilnya disebut telon. Mrapati ialah mempergunakan Canting Prapatan, hasilnya, dan seterusnya. Tetapi mempergunakan Canting Galaran atau Canting Renteng, selalu disebut ngalari, dan tidak pernah disebut “ngrentengi”; sedang hasilnya selalu disebut “galaran”, tidak pernah disebut “rentengan”. Cara penggunaan canting bertahap itu banyak keuntungannya. Keuntungan pertama ialah canting dapat dipergunakan bergantian dalam satu rombongan pengobeng (pembatik yang berbeda-beda tugasnya (berbeda tahap batikan yang dikerjakan); Keuntungan kedua kedua ialah mengurangi jumlah canting yang semacam meskipun anggota pengobeng cukup banyak. Kalau dua orang bersamaan akan menggunkan canting semacam, sedangkan cantinga hanya sebuah, maka salah satu dapat menundanya dan mengerjakan bagian lain dengan canting lain. Demikian seterusnya. Batikkan yang lengkap dengan isen-isen disebut “reng-rengan”. Oleh kaena namanya reng-rengan maka pengobeng yang membatik sejak permuaan sampai penyelesaian (akhir) memberi isen-isen disebut “ngengreng”. Jadi ngerengan merupakan kesatuan motif dari keseluruhan yang dikehendaki. Hal itu merupakan penyelesaian yang pertama.
c. Nerusi
Nerusi merupakan penyelesaian yang kedua. Batikan yang berupa ngengrengan kemudian di balik permukaannya, dan dibatik kembali pada permukaan kedua itu. Membatik nerusi ialah membatik mengikuti motif pembatikan pertama pada bekas tembusnya. Nerusi tidak berbeda dengan mola dan batikan pertama berfungsi sebagai pola. Canting-cantingyang dipergunakan sama dengan canting canting untuk ngengreng nerusi terutama untuk mempertebal tembusan batikan pertama serta untuk memperjelas. Batikan yang selesai pada tahap ini pun masih disebut “ngengrengan”. Pengobeng yang membatik dari permulaan sampai selesai nerusi disebut “ngengreng”.
d. Nembok
|
Menembok |
Sebuah batikan tidak seluruhnya diberi warna, atau akan diberi warna yang bermacam-macam pada waktu penyelesaian menjadi kain. Maka bagian-bagian yang tidak akan diberi warna, atau akan diberi warna sesudah bagian yang lain harus ditutup dengan malam. Cara menutupnya seperti cara membatik bagian lain dengan mempergunakan canting tembokan. Canting tembokan bercucuk besar. Orang yang mengerjakan disebut “Nembok” atau nemboki dan hasilnya disebut “tembokan”. Bagian yang ditembok biasanya disela-sela motif pokok. Menembok biasanya mempergunakan malam kualitas rendah. Meskipun malam penuh kotoran tetapi canting canting bercucuk besar tidak banyak terganggu. Selain itu bagian tembokan cukup lebar dan tebal,sehingga kurang baiknya malam untuk nembok dapat diatasi. Pada hakekatnya fungsi malam selain untuk membentuk motif, juga untuk menutup pada tahap-tahap pemberian warna kain, dimana warna itu sebagai pembentuk motif batik yang sesungguhnya. Nembok hanya pada sebelah muka mori.
e. Bliriki
|
Mbliriki |
Bliriki ialah nerusi tembokan agar bagian-bagian itu tertutup sungguh-sungguh. Bliriki mempergunakan canting tembokan dan caranya seperti nemboki.
Apabila tahap terakhir ini sudah selesai berarti proses membatik selesai juga. Hasil Bliriki disebut “blirikan” tetapi jarang disebut demikian, lebih biasa disebut”tembokan”. Memang membatik disebut selesai apabila proses terakhir tadi selesai; atau kalau batikan tidak perlu ditembok,maka yang disebut batikan selesai adalah sebelum ditembok. Pada jaman yang silam didaerah Surakarta, setiap selesai tahap-tahap tadi, batikan dijemur sampai “malam “ nya hampir meleleh.
Maksud penjemuran itu ialah agar supaya lilin pada mori tidak mudah rontok atau hilang. Sebab “malam” (mendidih) waktu dipergunakan untuk membatik dan bersinggungan dengan mori dingin akan membeku tiba-tiba karena proses “kejut”. Pembekuan malam demikian itu kurang baik, karena batikan sering patah-patah dan malam mudah rontok.
|
Penjemuran |
Tetapi jika dijemur,pemanasan terjadi secara merata, dan mori ikut terpanasi.Mori yang mengalami pemanasan sinar matahari akan mengembang, dan mempunyai daya serap. Proses mengembang ini memperkuat melekatnya malam yang mulai akan meleleh; sebelum malam itu meleleh batikan harus diangkat dengan hati-hati ke tempat teduh.
Di tempat teduh, batikan secara serentak akan mendingin. Proses pendinginan ini pun ada keuntungannya, karena antara mori dan malam saling memperkuat daya lekat. Selesailah kerja membatik.
D. Mbabar
|
Pembabaran |
Mbabar ialah proses penyelesaian dari batikan menjadi kain. Selesai batikan dibliriki, meningkat pengerjaan selanjutnya, yaitu memproses menjadi kain. Dibeberapa daerah cara mbabar pada garis besarnya sama.
Perbedaan hanyalah terletak pada perbandingan bahan adonan yang dipergunakan. Ada suatu daerah dimana perbandingan bahan adonan sudah tertentu sesuai dengan kain yang diinginkan. Tetapi ada pula daerah yang mempergunakan perbandingan tidak menentu dan hanya berdasar perkiraan menurut pengalaman. Selain itu perbedaan terletak pada jangka waktu yang dibutuhkan setiap tahap-tahap mbabar. Ada pula yang mempergunakan jangka waktu tertentu; tetapi ada pula yang berdasar perkiraan saja. Perbedaan-perbedaan itu mempengaruhi kualitas kain yang diproduksi setiap daerah. Hal itu tidak mustahil karena pada mbabar terdapat proses kimia; sedang waktu adalah sangat besar pengaruhnya terhadap proses kimia. Tetapi proses ini belum diketahui secara mendalam oleh para pembabar masa silam.
1. Bahan Untuk Mbabar
Pada umumnya untuk mbabar batikan dipergunakan bahan hasil alam dengan pengolahan sederhana. Memang bumi Indonesia kaya akan hasil alam yang bermacam-macam.
Bahan untuk mbabar, antara lain :
a. Nila
Nila dari tumbuh-tumbuhan tarum (Jawa tom). Sudah sejak jaman purbakala tarum dipakai untuk membuat warna pakaian. Nila dipergunakan untuk medel batikan dengan campuran bahan yang lain.
b. Tebu
Tebu diambil gulanya atau tetes; sebagai campuran.
c. Kapur Sirih (Enjet)
Dipergunakan untuk campuran.
d. Tajin
Tajin ialah semacam kanji yang diambil dari air rebusan beras.
e. Soga
Soga nama tumbuh-tumbuhan dari keluarga papilionaceae dan mempunyai warna kuning.
f. Saren
Saren dari kata sari berarti inti atau pati. Di Jawa terdapat istilah “saren”;yang dimaksud adalah darah lembu (kerbau) yang dipotong dan dimasak. Di sini saren adalah suatu ramuan, atau adonan dari beberapa bahan untuk mencelup batikan sesudah disoga. Dan tahap ini adalah tahap menghilangkan “malam”, atau mendekati penyelesaian.
2. Proses Mbabar Batikan Menjadi Kain.
Proses ini terbagi dalam beberapa tahap dan harus diselesaikan secara urut. Kalau batikan sudah dibliriki, pekerjaan meningkat kepada tahap pertama proses mbabar.
Tahap-tahap itu ialah :
A. Medel Dan Mbironi
|
Tahap Awal Pemedelan |
Bahan pokok untuk medel ialah nila (tarum). Lebih dahulu disediakan air 24 pikul, satu pikul lebih kurang 40 liter. Sebuah jambangan diisi air 21 pikul dan sebuah lagi tetap dikosongkan. Jambangan yang berisi air kemudian diberi latak. Latak ialah endapan cairan nila. Banyaknya latak 3 pikul, diaduk pagi dan sore selama 2 atau 3 hari. Pada pagi hari ke-3 atau 4, jika keadaan latak dalam campuran tersebut sudah kelihatan hitam, maka air diatas endapan diambil dan dipindah ke jambangan yang kosong. Endapan latak campuran ditambah lagi dengan latak baru sebanyak 2 pikul dan gula tetes sebanyak sebatok (batok yang dimaksud ialah tempurung kelapa belah dua dan diambil dagingnya). Warna campuran akan menjadi kuning. Sore harinya ditambah lagi dengan nila yang amat hitam sebanyak 1,5 pinggan besar (pinggan ialah mangkok besar).
|
Perendaman Pemedelan |
Keesokan harinya, kira jam 6.00, nila dalam jambangan sudah dapat dimasuki batikan. Nila sebanyak itu diperuntukkan bagi batikan sebanyak 30 potong, masing-masing 2,5 kacu. Pencelupan ini memakan waktu kira-kira 2 jam; setelah itu diangkat dari rendaman dan ditaruh pada suatu sampiran tanpa dibentangkan, sampai air tidak menetes (atus). Pengangkatan dari rendaman dan penempatan sampai “atus” disebut “kasirep” (kasirep dari kata sirep kurang lebih berarti “reda”). Jika sudah atus atau tidak menetes airnya, kemudian dimasukkan ke dalam nila kembali selama dua jam : setelah itu diangkat dan dijemur sampai kering. Pengangkatan kedua dan penjemuran sampai kering disebut “kageblogi”( kageblogi dari kata “geblok” berarti suatu cara memukul, atau suatu ukuran kelompok).
Setelah batikan kering, dimasukkan lagi ke dalam nila. Pekerjaan ini dilakukan beberapa kali sampai batikan mencapai warna hitam. Kalau batikan sudah berwarna hitam, barulah kerja tersebut berhenti. Nila bekas pencelupan segera ditambah dengan endapan nila sebanyak 1,5 pinggan besar. Penambahan ini disebut “nglawuhi” (nglawuhi dari kata lawuh berarti lauk pauk untuk makan). Tetapi arti atau fungsi nglawuhi dalam proses mbabar kain ini adalah sebagai penyempurna. Sekarang nila berwarna kuning. Kalau terlalu kuning akan berbahaya sebab dapat merontokkan “malam”, sedangkan tugas “malam” pada mori belum selesai. Warna terlalu kuning disebabkan kurang enjet (kapur sirih). Tetapi jika terlalu banyak enjet, warnanya akan menjadi hijau, tidak dapat untuk menghitamkan batikan. Untuk mengembalikan warna menjadi kuning, cukuplah diberi cuka Jawa atau gula tetes. Seandainya belum juga kuning, diberi gula tebu dan asam sampai warna berubah menjadi kuning kembali sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu batikan dimasukkan kembali dalam adonan nila seperti kerja di atas.
|
Pengerokan |
Sekarang batikan sungguh-sungguh berwarna hitam. Setelah cukup batikan diangkat dan dicuci dalam air tawar dan dikeringkan pada tempat teduh. Batikan yang sudah kering direndam dalam air tawar sampai “malam” bluduk (bluduk ialah seperti keadaan akan rontok). “Malam” pada batikan reng-rengan dan terusan dikerok memakai alat tertentu sampai bersih; sedangkan “malam” pada tembokan dan blirikan tidak dikerok. Batikan yang sudah dikerok terus dibilasi (dibilasi ialah pencucian yang kedua kali) sampai air cucian kelihatan bersih, dan dikeringkan kembali pada tempat yang teduh. Setelah batikan kering, lalu dikanji memakai “tajin busuk” (basi) dengan gula tebu. Perbandingan campuran ialah 3 gelas tajin dengan gula seberat 3 buah uang sen. Setelah dikanji batikan dikeringkan kembali. Sesudah kering dibironi pada bagian-bagian yang membutuhkan warna biru (dibironi diberi warna biru). Sebelum dibironi, bagian-bagian yang tidak membutuhkan warna biru ditutup dengan “malam”. Cara menutup seperti membatik tembokan dan bliriki. Selesai dibironi, meningkat ke tahap ketiga yaitu di “soga”.
|
Pembilasan |
Kemudian batikan dibironi. Reng-rengan batikan dikerok sampai bersih seperti cara yang sudah diterangkan. Sesudah dikerok terus dicuci dan dikeringkan, atau tanpa dikeringkan langsung disekuli, yaitu dicelupkan dalam “tajin”; kemudian dikeringkan. Apabila sudah kering, terus dibironi. Perbedaan dengan cara di atas ialah tanpa mengalami pengeringan yang pertama. Selain itu perbandingan bahanbahanramuan nila tidak tentu, tetapi tergantung dari perkiraan yang mengerjakan. Hal itu mungkin merupakankekalahan dalam tahap wedelan.
B. Nyoga
|
Melipat Wiru Batik |
Sesudah dibironi dan kering, batikan itu disoga. Caranya : Batikan diwiru, yaitu dilipat bolak-balik (lipatan spiral). Selesai diwiru, dima-sukkan ke dalam wadah yang berisi soga hangat, ditekan-tekan sedemikian rupa agar merata. Sesudah cukup rata diangkat, dan disampirkan diatas wadah tersebut, supaya soga dapat menetes kembali ke dalam wadah tadi. Jika cairan soga tidak menetes lagi, maka batikan dijemur pada sinar matahari sampai setengah kering, kemudian dipindah ke tempat teduh sampai kering. Sampai disini barulah satu tahap nyoga; sedang penggunaan masing-masing soga akan berbeda pula tingkat-tingkatnya.
Setelah selesai menyoga, segera batikan disareni. Kapur dan gula tebu dituangi air jambangan, diaduk sampai hancur. Sesudah mengendap, maka air rendaman dituangkan dalam kenceng. Batikan dimasukkan dalam kenceng sampai merata; kemudian diangkat sampai atus. Sesudah atus, terus dipukul-pukul dalam air panas supaya “malam” hilang. Memukulkan pada air panas disebut “nglorot atau “nglungsur”. Setelah batikan “dilorot” terus dicuci dan dijemur. Penjemuran batikan itu disebut “dikemplang”. Sampai tahap ini disebut “ambabar”. Setiap pagi hari
batik yang sudah berupa kain itu diembun-embunkan. Selesailah proses mbabar batikan.