FEEDBURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Batik Tiga Negeri

Batik Tiga Negeri
Kerumitan membuat sepotong batik tulis ternyata masih belum cukup jika kita tahu sejarah motif Batik Tiga Negeri. Motif batik Tiga Negeri merupakan gabungan batik Lasem, Pekalongan dan Solo. Pada jaman kolonial ketiga wilayah ini memiliki otonomi sendiri dan disebut negeri. Mungkin kalau hanya perpaduan motifnya yang khas masing-masing daerah masih wajar dan biasa, tetapi yang membuat batik ini memiliki nilai seni tinggi adalah prosesnya. Konon menurut para pembatik, air disetiap daerah memiliki pengaruh besar terhadap pewarnaan, dan ini masuk akal karena kandungan mineral air tanah berbeda menurut letak geografisnya. Maka dibuatlah batik tradisional ini di masing-masing daerah. Pertama, kain batik ini dibuat di Lasem dengan warna merah yang khas, seperti merah darah, setelah itu kain batik tersebut dibawa ke Pekalongan dan dibatik dengan warna biru, dan terakhir kain diwarna coklat sogan yang khas di kota Solo.
Mengingat sarana transportasi pada zaman itu tidak sebaik sekarang, maka kain Batik Tiga Negeri ini dapat dikatakan sebagai salah satu masterpiece batik. Hal ini dikarenakan dalam proses pembuatan batik dan motifnya merupakan penggabungan dari 3 wilayah atau negeri yaitu: Lasem, Pekalongan, dan Solo; oleh karenanya disebut Batik Tiga Negeri.
Batik Tiga Negeri yang dibuat di Lasem tentunya mengandung ragam hias khas Lasem dalam lembaran kainnya. Batik Lasem umumnya diselesaikan dengan warna merah mengkudu dan dasarnya kuning-tipis.
Pada dasarnya batik corak Lasem ini adalah suatu corak batik yang mempunyai 3 dasar pengaruh pada motif serta coraknya, yaitu:
1. Pengaruh budaya Tiongkok, seperti bentuk burung phoenix. Ini mungkin disebabkan karena pengusaha batik adalah keturunan Tiongkok (Tionghoa).
2. Pengaruh gaya batik Jawa-Tengah (Sala-Yogya) yaitu pusat seni batik yang semula mempunyai nilai filosofis,seperti kawung.
Pengaruh selera pantai Utara Jawa, yaitu pemakaian warna-warna yang cerah seperti warna merah, biru, kuning, dan hijau disamping warna soga coklat.

Batik Lasem

Batik Lasem Motif Naga
Lasem adalah salah satu daerah yang terletak di pantai utara pulau Jawa, di mana menurut beberapa ahli sejarah merupakan tempat pertama kali para pedagang dari Tiongkok mendarat di Indonesia. Dari Lasem kemudian mereka menyebar ke Kudus, Demak dan daerah-daerah lainnya. Sebagian dari para pedagang Tiongkok tersebut kemudian menetap di Lasem, oleh karena itu sampai sekarang masih dapat dijumpai rumah-rumah tua berpagar tembok yang tinggi dengan tata bangunan khas Tiongkok kuno. Lahirnya Batik Lasem tentu tidak terlepas dari sejarah dan perkembangan keberadaan orang-orang Tionghoa di Lasem. Namun demikian, sejauh ini belum banyak diketahui secara pasti tentang sejarah kapan dimulainya pembatikan di Lasem. Dokumentasi sejarah dan budaya serta tenaga ahli budaya Batik Lasem sangat langka dijumpai.
Salah satu versi mengenai sejarah awal keberadaan Batik Lasem adalah berasal dari Serat Badra Santi dari Mpu santi Badra yang ditulis pada tahun 1479 Masehi dan diterjemakan oleh U.P Ramadharma S. Reksowardojo pada tahun 1966, yang menyatakan bahwa pada tahun 1335 Saka (1413 Masehi), salah seorang nakhoda kapal dari armada laut kekaisaran Ming di Tiongkok di bawah pimpinan Laksamana Cheng ho (digelari Ma Sam Po atau Dampu Awang) yang bernama Bi Nang Un, mendarat bersama istrinya yang bernama Na Li Ni di pantai Regol Kadipaten Lasem yang sekarang disebut sebagai pantai Binangun. Bi Nang Un adalah seorang yang berasal dari Campa yaitu salah satu nama wilayah di Indocina sekitar Vietnam, Kamboja dan Laos yang pada saat itu menjadi bagian wilayah kekaisaran Dinasti Ming.
Kapal Ekspedisi Laksamana Cheng Ho
Na Li Ni adalah seorang yang menyukai dan menguasai berbagai kesenian seperti seni tari dan seni membatik. Saat Putri Na Li Ni mendarat di Lasem, ia melihat sebagian besar rakyat di Lasem hidup sangat miskin. Kemudian Na Li Ni tergerak untuk mengajarkan seni membatik dan seni menari kepada putra-putrinya serta para remaja putri lainnya di Taman Banjar Mlati Kemadhung dan mulai memikirkan agar dapat membatik dengan baik dan lebih berseni.
Dalam perkembangan kemudian, masyarakat Lasem terutama yang Tiong Hoa banyak yang menjadi pengusaha batik sehingga pada saat itu hampir seluruh pengusaha batik di Lasem adalah merupakan keturunan Tiong Hoa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika motif dan pewarnaan Batik Lasem lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Tiongkok. Namun kini, menjadi pengusaha batik tidak hanya ditekuni oleh masyarakat keturunan Tionghoa saja tetapi juga ditekuni oleh masyarakat Jawa.
Salah satu karakteristik yang menonjol dari Batik Lasem adalah karena batik Lasem merupakan hasil akulturasi budaya Tiongkok di pesisir pulau Jawa.
Batik Lasem Klasik
Namun demikian, Batik Lasem berbeda dengan batik Encim dari Pekalongan terutama dalam tatawarnanya yang lebih mengacu pada tatawarna benda-benda porselin dari Dinasti Ming seperti warna merah, biru, merah biru, merah-biru dan hijau. Selain itu pemberian nama pada sehelai kain Batik Lasem pada umumnya berdasarkan tatawarnanya dan bukan berdasarkan pada ragam hias seperti pada penamaan batik dari daerah lain di Indonesia. Oleh karena itu, terdapat istilah Bang-bangan, kelengan, Bang biru, Bang-biru-ijo. Tatawarna ini merupakan khas batik Tionghoa Lasem dimana umumnya tidak terdapat warna sogan. Batik Lasem terkenal akan warna merahnya yang menyamai warna merah darah dan hanya bisa ditemukan pada pembatikan di Lasem. Warna merah khas Lasem (abang getih pithik) dihasilkan dari pewarna alam yang berasal dari akar pohon mengkudu (pace). Oleh sebab itu, banyak batik dari daerah lain yang warna merahnya dicelupkan di Lasem seperti misalnya batik Gondologiri dari Solo dan batik tiga negeri yang ketiga warnanya dicelupkan ditempat yang berbeda-beda, yaitu warna sogan di Solo, warna merah di Lasem dan warna biru di Pekalongan.
Untuk pembuatan sehelai kain batik tulis Lasem diperlukan waktu yang cukup lama yaitu antara tiga sampai enam bulan dan baru dapat dipasarkan. Hal ini mengingat alat-alat yang dipakai masih sangat tradisional dan semua tahapan pembuatannya dilakukan dengan menggunakan tangan.
Batik Lasem Modern Motif  Naga
Batik Lasem terdiri dari dua jenis, yaitu batik Lasem kuno dan batik Lasem modern. Batik Lasem kuno dibuat sekitar abad 20. Semua kain batik tersebut merupakan kain batik tulis dan masih menggunakan pewarna alami.  Batik Lasem modern adalah batik Lasem yang dibuat setelah kemerdekaan Indonesia, masih mempertahankan tehnik batik tulis namun sudah menggunakan pewarna kimia.
Berdasarkan hasil analisis pada batik Lasem modern ditemukan motif yang serupa dengan motif batik Lasem kuno, seperti motif pohon hayat dari India dan motif buketan dari Belanda. Hal ini menunjukkan penerapan ragam hias batik Lasem kuno dengan batik Lasem modern masih memiliki hubungan yang erat. Sama halnya dengan batik Lasem kuno, batik Lasem modern juga masih memadukan beberapa unsur budaya asing di dalamnya, salah satu budaya yang paling berpengaruh adalah budaya Tiongkok. Selain itu batik Lasem kuno dan Batik Lasem modern hingga saat ini masih mempertahankan teknik canting dalam proses membatik. Meskipun demikian pengusaha batik Lasem pernah memproduksi batik cap, tetapi karena tidak mampu bersaing dengan batik printing dari daerah lain, maka pengusaha tersebut kembali menggunakan teknik membatik tradisional yaitu menggunakan canting dalam proses membatik. Batik tulis yang diproduksi memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan batik cap maupun printing, selain itu juga memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Oleh karena itu, teknik yang menggunakan canting tersebut masih dipertahankan hingga saat ini.
Batik Lasem kuno merupakan batik yang dibuat sekitar abad ke-14 sampai dengan sebelum kemerdekaan RI, sedangkan batik Lasem modern merupakan batik yang dibuat setelah kemerdekaan RI sampai dengan saat ini. Sampel batik Lasem kuno yang penulis peroleh dibuat sekitar abad ke-20. Berdasarkan data-data tersebut dapat dilihat bahwa batik Lasem kuno merupakan perpaduan dari beberapa budaya, yaitu budaya Champa, India, Belanda, Jawa, serta budaya yang paling berpengaruh adalah budaya Tiongkok. Hal ini dikarenakan dahulu para pengusaha batik Lasem pada umumnya adalah keturunan Tiongkok, konsumen mereka pun sebagian besar adalah keturunan Tiongkok di Lasem atau di daerah lainnya, oleh karena itu motif yang digunakan adalah motif-motif yang berasal dari budaya mereka sendiri. Motif yang sering digunakan adalah motif yang melambangkan keberuntungan, kebahagiaan, kesehatan, dsb. Beda halnya dengan batik Lasem modern yang banyak menggunakan ragam hias baru seperti latohan, gunung ringgit, kricak, dll. Motif-motif baru tersebut menjadikan kehidupan sosial masyarakat di Lasem sebagai sumber inspirasi.
Berdasarkan sampel yang ada, dapat diketahui bahwa pembatik zaman dulu sangat mementingkan kualitas kain batik. Hal ini dapat dilihat dari gambar yang sangat halus yang dibuat melalui teknik canting, serta warna lembut yang diperoleh dari bahan pewarna alami yang memerlukan proses yang cukup lama dalam pengerjaannya. Batik Lasem modern tidak memerlukan waktu yang lama dalam pengerjaannya dan motif yang digambarkan pada batik Lasem modern pun sudah tidak sehalus batik Lasem kuno. Hal ini disebabkan karena para pembatik saat ini lebih mementingkan nilai ekonomi. Selain itu, batik Lasem modern sudah menggunakan bahan pewarna kimia yang akan membuat proses pembatikan menjadi lebih cepat dan praktis, sehingga mereka akan semakin cepat mendapat keuntungan.
Hasil akhir kain batik Lasem kuno pada umumnya dijadikan sebagai kain panjang ataupun sarung. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai tokwi untuk keperluan sembahyang, seprei ataupun tirai pintu yang digunakan saat upacara pernikahan. Begitu juga dengan hasil akhir kain batik Lasem modern yang masih dapat dijadikan sebagai kain panjag maupun sarung. Tetapi seiring perkembangan zaman, hasil akhir kain batik Lasem modern dapat dibuat sebagai bahan baku untuk membuat pakaian ataupun tas.

Batik Indramayu

Indramayu dan sekitarnya adalah komunitas masyarakat nelayan dan merupakan pelabuhan penting pada pantai utara Jawa yang sering disinggahi kapal-kapal asing. Membatik dikerjakan oleh para isteri nelayan pada saat para suami melaut dan bertujuan menambah income/pemasukan keluarga. Mereka menggunakan canting berukuran besar, sehingga sulit untuk mengisi penuh desain batiknya.
Untuk mengisi bidang-bidang kosong, dibuat alat cocohan dengan complongan yang berbentuk seperti sisir dengan jarum tajam yang digunakan untuk mempenetrasi kain begitu selesai dicover dengan lilin. Setelah dicelup, titik-titik membentuk warna sesuai celupan.
Desain batik Indramayu yang berciri khas desain lingkungan laut dan pesisir yang digambarkan secara harafiah, dari kiri: Dara Kipu dan Ganggeng, Jarot Asem dan Urang Ayu
Ragam hias batik Indramayu terdiri dari motif non-geometris atau organik, yaitu susunan motif yang menyebar dinamis dan atraktif memenuhi bidang kain mori. Warna batik Indramayu seperti pada umumnya batik dari daerah pesisir, memiliki ragam warna dengan komposisi yang cerah, segar dan dinamis. Motif batik yang dibuat di desa nelayan sangat dipengaruhi oleh flora dan fauna sekitarnya, sebagai contoh Jarot Asem (Asem Jawa), Dara Kipu, flora atau fauna laut Gaggeng dan Urang Ayu. Motif-motif ini yang merupakan batik kasar dan murah tetapi memiliki keunikan tinggi yang pernah dibuat oleh masyarakat.
Batik Dermayon Indramayu
Salah satu ragam hias batik dari Indramayu adalah batik Dermayon.  Ragam hias batik Dermay banyak terinspirasi oleh mahluk laut dan ornamen-ornamen dari Cina, mengingat letaknya yang berada di daerah pesisir dan adanya komunitas Cina dalam jumlah besar di daerah tersebut. Motif pada batik ini berupa sayap ganda (mirong) yang berasal dari Jawa Tengah dengan bunga-bunga dari Cina dengan latar berupa titik-titik halus yang disebut cocohan. Cocohan diperoleh dengan cara menusukkan serangkaian jarum pada permukaan kain yang sudah ditutup lilin, yang akan menghasilkan titik-titik halus setelah diwarnai.

Batik Cirebon

Pengrajin Batik Tulis di Cirebon
Cirebon merupakan salah satu daerah penghasil batik di Jawa Barat yang memiliki kekuatan dalam penggambaran setiap motifnya. Hal ini disebabkan sejarah batik di Cirebon terkait erat dengan proses asimilasi budaya serta tradisi ritual religius. Sejarah batik Cirebon dimulai ketika Pelabuhan Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan pedagang Tiongkok, Arab, Persia, dan India. Dengan adanya persinggungan budaya yang berlainan tersebut, akhirnya banyak melahirkan pembauran baik asimilasi maupun interkulturasi yang satu sama lain saling mempengaruhi.
Secara geografis, Cirebon merupakan wilayah strategis yang letaknya berada di pesisir pantai utara Jawa. Kota ini merupakan tempat bertemunya berbagai kebudayaan.  Dalam buku Purwaka Caruban Nagari yang ditulis pada tahun 1720 disebutkan, berbagai bangsa sering mengunjungi pelabuhan Cirebon, yaitu: “orang Tiongkok, Arab, Parsi, India, Malaka, Tumasik, Pasai, Jawa Timur, Madura dan Palembang”. Awal mula penduduk Cirebon konon merupakan masyarakat pendatang dari kerajaan Galuh Pakuan, yang menetap dan mendirikan sebuah perkampungan nelayan. Kondisi perkampungan tersebut semakin lama terus berkembang dan pada akhirnya menjadi kerajaan Cirebon. Demikian pula dengan terjadinya migrasi penduduk dari Jawa Tengah ke Cirebon untuk mencari penghidupan baru. Hal ini menambah semarak dan beragamnya masyarakat yang bermukim di wilayah Cirebon.
Batik Cirebon Motif Taman Arum Sunyaragi 
Salah satu asimilasi dari berbagai pengaruh budaya tersebut dapat terlihat dalam perwujudan seni batik di Cirebon. Secara visual batik Cirebon memiliki banyak ragam dan corak yang menggambarkan betapa banyaknya pengaruh dari luar, baik mancanegara maupun daerah sekitar yang memiliki hubungan erat dengan Cirebon. Pengaruh dari luar yang tampak pada batik Cirebon berasal dari Tiongkok , Arab (dunia Islam) dan India (mitologi Hindu). Di antara tiga budaya tersebut, seni rupa Tiongkok memiliki pengaruh yang sangat besar. Hubungan erat antara Cirebon dengan Tiongkok terjadi karena para saudagar dari Tiongkok sering tinggal dan menetap di daerah ini. Selain itu banyak di antara orang Tiongkok yang menikah dengan penduduk setempat. Demikian pula dengan menikahnya Sunan Gunungjati dengan Oeng Tien, seorang putri dari kekaisaran Tiongkok memiliki dampak yang sangat besar pada bidang seni dan arsitektur di Cirebon. Hal ini misalnya, dapat dilihat dengan adanya ragam hias awan dan bebatuan yang terdapat di keraton Kasepuhan dan Taman Sunyaragi. Hal serupa terdapat pula pada motif kain batik, yang di antaranya pada batik motif Taman Arum.
Hubungan Cirebon sebagai daerah pelabuhan dengan daerah-daerah lainnya dengan para pendatang dari berbagai negeri yang membawa tata-nilai seni budaya telah menjadikan Cirebon mengalami suatu pembauran budaya baik secara internal dan eksternal. Hubungan perdagangan yang erat antara Cirebon dengan negeri Tiongkok, Arab, India (Hindu), telah pula menyebabkan kultur Cirebon berpadu dengan kulturkultur asing tersebut. Perpaduan budaya tersebut pada akhirnya telah membuahkan corak-corak cultural yang beragam pada kebudayaan Cirebon umumnya. Batik Cirebon memiliki keunikan dan kekuatan dalam penggambaran desain motifnya yang telah diakui masyarakat pencinta batik. Batik Cirebon sendiri termasuk golongan batik pesisir, namun sebagian batik Cirebon juga termasuk dalam kelompok batik kraton. Apabila dilihat dari sisi ragam hiasnya, maka batik Cirebon memiliki dua ragam hias, yakni batik pesisiran yang dipengaruhi budaya Tiongkok dan batik kraton yang banyak dipengaruhi oleh agama Hindu dan Islam.
Pengrajin Batik Trusmi - Cirebon
Cirebon merupakan salah satu sentra batik di pulau Jawa yang memiliki perjalanan panjang. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari peran pusat pemerintahan (Keraton Cirebon) dan lingkungan sosial masyarakat penyangga tradisi membatik, seperti beberapa tempat produksi batik, yakni Kenduruan, Paoman, Trusmi, dan Kalitengah. Dari beberapa sentra seni kerajinan batik tersebut hanya di desa Trusmi yang masih bertahan hingga saat ini. Pengrajin batik Trusmi merupakan pemasok batik untuk memenuhi kebutuhan Keraton. Motif batik untuk keperluan ini memiliki makna filosofis. Di samping itu pengrajin batik Trusmi juga memproduksi batik gaya pesisiran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Gaya ini lebih dinamis dalam mengikuti selera pasar tanpa harus memiliki makna filosofis.
Pertumbuhan dan perkembangan batik Cirebon yang memiliki kedua klasifikasi yaitu batik Pesisir dan batik kraton adalah bukti betapa uniknya batik Cirebon tersebut. Perkembangan batik Cirebon dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini cukup melonjak dari sisi jumlah (Data Yayasan Batik Jawa Barat). Ketika batik diakui oleh UNESCO sebagai World Heritage (Warisan Dunia) pada tahun 2009, berbusana batik menjadi mode dan batik Cirebon kembali berkembang lagi dengan hasil dari produksi yang awalnya hanya berupa kain, berkembang menjadi aneka ragam bentuk dan jenisnya dari bahan dan barang jadi yang beraneka ragam, dari busana dan aksesoris yang semua bermotif ciri khas Cirebonan. Dahulu batik Cirebon umumnya digunakan untuk kain sinjang (jarik) berupa lembaran-lembaran kain yang menggunakan warna dan motif-motif tradisional, kini juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sandang dan lainnya, beberapa pengrajin telah mengembangkan produk batik lebih bervariasi dan mengikuti perkembangan zaman.

BUKU KAMI DI GOOGLE BOOKS

title

BUKU NOVEL KOMEDI ANAK SEKOLAH
 
Support : Batik Tradisional Indonesia | Motif Batik | Keanekaragaman Batik
Copyright © 2013. Batik Tradisional Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by BatikDan
Proudly powered by Blogger