FEEDBURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Batik Tradisional Indonesia

Batik tradisional Indonesia merupakan kebudayaan khas bangsa Indonesia yang secara historis sudah dikenal sejak abad XVII yang tertulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif dan pola batik tradisional Indonesia masih didominasi oleh bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam perkembangannya batik tradisional Indonesia mengalami perkembangan corak, ragam dan motif. Disamping itu, keanekaragaman budaya bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri.
Perkembangan batik tradisional Indonesia sehingga menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad 18 atau awal abad 19. Batik yang dihasilkan pada saat itu adalah batik tulis sampai awal abad XX, kemudian batik cap baru dikenal setelah Perang Dunia I atau sekitar 1920. pada awalnya membatik hanyalah pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari baik wanita maupun pria.
Batik dapat didenifisikan sebagai cara pembuatan bahan kain, Selain itu definisi batik juga bisa mengacu pada dua hal: 
  • Teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam, teknik ini adalah salah satu bentuk seni kuno yang berguna untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing.  
  • Kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan.
Warga Belanda Tempo Doeloe Menggunakan Batik
Dalam Perkembangannya, ragam corak dan warna batik tradisional Indonesia dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing, khususnya dari pedagang asing (India, Arab, Tiongkok) dan Belanda/Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Pengaruh motif corak India dapat ditemui pada batik sembagi dan batik jlamprang.  Batik yang meniru pola dan motif chintz dan patola dipopulerkan oleh para pedagang arab dan Tionghoa untuk mengisi kekosongan pasar akan kebutuhan kain patola dan chintz akibat menurunnya perdagangan antara India dan Nusantara pada akhir abad 18. Pengaruh ragam dan corak budaya Tiongkok pada batik tradisional Indonesia juga bisa ditemui pada daerah pesisir seperti Indramayu, Cirebon, Pekalongan, lasem, dan Tuban. Pengaruh Warna-warna cerah seperti merah, dan motif/corak burung Hong, naga, singa, kura-kura, kilin, dewi-dewi. Batik tradisional tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat. Pengaruh kebudayaan Eropa khususnya Belanda pada batik tradisional Indonesia mulai tumbuh dan berkembang antara tahun 1840-1940.  Hal ini dapat ditemui pada pola buketan (bouquet : rangkaian bunga), pada daerah pesisir khususnya daerah pekalongan dan sekitarnya.
Pembuatan Batik Tradisional Indonesia
Batik tradisional Indonesia dalam perkembangan lebih lanjut tidak hanya terbatas dalam ragam hias, corak, dan motifnya saja; tetapi juga dari cara pembuatannya. Oleh karenanya batik tradisional Indonesia berdasarkan cara pembuatannya dibagi menjadi:
Disamping itu batik tradisional Indonesia pada umumnya diproduksi terpusat hanya di beberapa daerah atau kota saja, dan pada setiap daerah tersebut memiliki ciri khas tersendiri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa batik tradisional Indonesia mempunyai sejarah yang panjang, dan dengan berjalannya waktu telah mengalami perkembangan dan mengalami proses akulturasi budaya dari budaya aslinya. Batik tradisional Indonesia adalah warisan nenek moyang yang harus kita lestarikan bersama.  Salah satu upaya pelestarian yang bisa kita lakukan adalah dengan mencintai produk-produk batik tradisional Indonesia, produk bangsa Indonesia.

Cara Membedakan Batik Tulis, Batik Cap dan Batik Printing

Memiliki batik bukan berarti hanya sekadar punya, tapi juga mengenal. Bisa dimulai dengan mengetahui, mengidentifikasi, mencari tahu asal-usulnya, sebagaimana mengenali pasangan kita. Mari kita berkenalan dengan tiga jenis batik berdasarkan teknik pembuatannya, yakni batik tulis, cap dan print. Bagaimana mengenali perbedaan antara tiga jenis batik?
Tidak banyak yang tahu, kapan tepatnya teknik merintang warna diatas kain dengan menggunakan malam yang kemudian disebut batik pertama kali masuk ke Indonesia. Konon, teknik ini dibawa oleh anak buah kapal Laksamana Ceng Ho yang bernama Binang Oen. Namun, menurut Robyn Maxwell dalam bukunya “Textiles Of South East Asia: Tradition, Trade And Transformation”, batik mungkin baru berkembang di abad ke XVII. 
Semua punya teorinya sendiri. Batik tulis disebut “batik tulis” karena perintang warnanya dibubuhkan dengan cara seperti menulis dengan menggunakan alat bernama canting.
Ciri-ciri:
  • Tidak ada satu pun batik tulis yang kembar, semua dibuat hanya satu setiap lembar. Motif biasanya lebih rumit.
  • Karena dibuat dengan tangan, tidak ada satu pun yang motifnya sempurna. Justru ketidaksempurnaan inilah yang membuat batik tulis sangat manusiawi.
  • Bolak-balik, warna dan motifnya sama. Hal ini dikarenakan, setelah bagian depannya dicanting, bagian baliknya kemudian harus dicanting lagi.
  • Memiliki ukuran yang tidak biasa misalnya 2 x 1,25 meter persegi.
  • Kalau batik kuno, biasanya ada inisial tulisan tangan nama pembatik di ujung kain.
Pembuatan Batik Cap
Batik cap mulai berkembang di Indonesia setelah meningkatnya permintaan terhadap kain batik di pertengahan abad XIX. Pada saat itu produsen batik mulai mencari cara untuk bisa memproduksi batik dalam jumlah banyak dengan waktu yang singkat. Dari sini kemudian dibuatlah lempengan besi dengan motif batik untuk membubuhkan malam pada permukaan kain mori. Lempengan besi ini kemudian berfungsi seperti “stempel” yang dicapkan ke atas kain. Sehingga batiknya kemudian disebut sebagai batik cap.
Ciri-ciri:
  • Motifnya cenderung berulang, tidak banyak detail.
  • Bolak-balik warnanya tidak sama, bagian belakang cenderung memiliki warna yang lebih redup atau tipis.
  • Karena sudah masuk produksi massal, kualitas bahan umumnya tidak terlalu baik.
  • Dijual per lembar dengan ukuran standart kain potong.
  • Kain mori yang digunakan biasanya tidak melalui proses perebusan berhari-hari seperti batik tulis. 
Pembuatan Batik Printing Dengan Mesin
BATIK PRINT
Batik printing atau yang bisa juga disebut sebagai kain tekstil bermotif batik. Muncul di Indonesia tahun 1970-an seiring penetapan batik sebagai pakaian nasional.
Kain tekstil bermotif batik ini awalnya diproduksi oleh industri tekstil lokal, namun karena permintaan yang semakin banyak akhirnya batik print ini juga diproduksi oleh pabrik luar negeri. Hal inilah yang kemudian dikhawatirkan akan mematikan industri kerajinan batik lokal.
Ciri-ciri:
  • Motifnya sangat detail dan rapi, sangat rapi bahkan.
  • Warnanya cerah dan sangat menarik.
  • Bagian belakang berwarna putih, dengan sedikit tembusan-tembusan warna dari bagian mukanya.
  • Harganya sangat murah.
  • Biasanya dijual meteran.
Tidak sulit kan membedakan batik tulis, cap dan print? Hanya butuh latihan. Semakin sering kita bersentuhan dengan kain batik, memakainya dan berdialog dengan pedagang serta pembuatnya, semakin ahli kita mengidentifikasi kain batik.

Batik Tiga Negeri

Batik Tiga Negeri
Kerumitan membuat sepotong batik tulis ternyata masih belum cukup jika kita tahu sejarah motif Batik Tiga Negeri. Motif batik Tiga Negeri merupakan gabungan batik Lasem, Pekalongan dan Solo. Pada jaman kolonial ketiga wilayah ini memiliki otonomi sendiri dan disebut negeri. Mungkin kalau hanya perpaduan motifnya yang khas masing-masing daerah masih wajar dan biasa, tetapi yang membuat batik ini memiliki nilai seni tinggi adalah prosesnya. Konon menurut para pembatik, air disetiap daerah memiliki pengaruh besar terhadap pewarnaan, dan ini masuk akal karena kandungan mineral air tanah berbeda menurut letak geografisnya. Maka dibuatlah batik tradisional ini di masing-masing daerah. Pertama, kain batik ini dibuat di Lasem dengan warna merah yang khas, seperti merah darah, setelah itu kain batik tersebut dibawa ke Pekalongan dan dibatik dengan warna biru, dan terakhir kain diwarna coklat sogan yang khas di kota Solo.
Mengingat sarana transportasi pada zaman itu tidak sebaik sekarang, maka kain Batik Tiga Negeri ini dapat dikatakan sebagai salah satu masterpiece batik. Hal ini dikarenakan dalam proses pembuatan batik dan motifnya merupakan penggabungan dari 3 wilayah atau negeri yaitu: Lasem, Pekalongan, dan Solo; oleh karenanya disebut Batik Tiga Negeri.
Batik Tiga Negeri yang dibuat di Lasem tentunya mengandung ragam hias khas Lasem dalam lembaran kainnya. Batik Lasem umumnya diselesaikan dengan warna merah mengkudu dan dasarnya kuning-tipis.
Pada dasarnya batik corak Lasem ini adalah suatu corak batik yang mempunyai 3 dasar pengaruh pada motif serta coraknya, yaitu:
1. Pengaruh budaya Tiongkok, seperti bentuk burung phoenix. Ini mungkin disebabkan karena pengusaha batik adalah keturunan Tiongkok (Tionghoa).
2. Pengaruh gaya batik Jawa-Tengah (Sala-Yogya) yaitu pusat seni batik yang semula mempunyai nilai filosofis,seperti kawung.
Pengaruh selera pantai Utara Jawa, yaitu pemakaian warna-warna yang cerah seperti warna merah, biru, kuning, dan hijau disamping warna soga coklat.

Batik Lasem

Batik Lasem Motif Naga
Lasem adalah salah satu daerah yang terletak di pantai utara pulau Jawa, di mana menurut beberapa ahli sejarah merupakan tempat pertama kali para pedagang dari Tiongkok mendarat di Indonesia. Dari Lasem kemudian mereka menyebar ke Kudus, Demak dan daerah-daerah lainnya. Sebagian dari para pedagang Tiongkok tersebut kemudian menetap di Lasem, oleh karena itu sampai sekarang masih dapat dijumpai rumah-rumah tua berpagar tembok yang tinggi dengan tata bangunan khas Tiongkok kuno. Lahirnya Batik Lasem tentu tidak terlepas dari sejarah dan perkembangan keberadaan orang-orang Tionghoa di Lasem. Namun demikian, sejauh ini belum banyak diketahui secara pasti tentang sejarah kapan dimulainya pembatikan di Lasem. Dokumentasi sejarah dan budaya serta tenaga ahli budaya Batik Lasem sangat langka dijumpai.
Salah satu versi mengenai sejarah awal keberadaan Batik Lasem adalah berasal dari Serat Badra Santi dari Mpu santi Badra yang ditulis pada tahun 1479 Masehi dan diterjemakan oleh U.P Ramadharma S. Reksowardojo pada tahun 1966, yang menyatakan bahwa pada tahun 1335 Saka (1413 Masehi), salah seorang nakhoda kapal dari armada laut kekaisaran Ming di Tiongkok di bawah pimpinan Laksamana Cheng ho (digelari Ma Sam Po atau Dampu Awang) yang bernama Bi Nang Un, mendarat bersama istrinya yang bernama Na Li Ni di pantai Regol Kadipaten Lasem yang sekarang disebut sebagai pantai Binangun. Bi Nang Un adalah seorang yang berasal dari Campa yaitu salah satu nama wilayah di Indocina sekitar Vietnam, Kamboja dan Laos yang pada saat itu menjadi bagian wilayah kekaisaran Dinasti Ming.
Kapal Ekspedisi Laksamana Cheng Ho
Na Li Ni adalah seorang yang menyukai dan menguasai berbagai kesenian seperti seni tari dan seni membatik. Saat Putri Na Li Ni mendarat di Lasem, ia melihat sebagian besar rakyat di Lasem hidup sangat miskin. Kemudian Na Li Ni tergerak untuk mengajarkan seni membatik dan seni menari kepada putra-putrinya serta para remaja putri lainnya di Taman Banjar Mlati Kemadhung dan mulai memikirkan agar dapat membatik dengan baik dan lebih berseni.
Dalam perkembangan kemudian, masyarakat Lasem terutama yang Tiong Hoa banyak yang menjadi pengusaha batik sehingga pada saat itu hampir seluruh pengusaha batik di Lasem adalah merupakan keturunan Tiong Hoa. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika motif dan pewarnaan Batik Lasem lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Tiongkok. Namun kini, menjadi pengusaha batik tidak hanya ditekuni oleh masyarakat keturunan Tionghoa saja tetapi juga ditekuni oleh masyarakat Jawa.
Salah satu karakteristik yang menonjol dari Batik Lasem adalah karena batik Lasem merupakan hasil akulturasi budaya Tiongkok di pesisir pulau Jawa.
Batik Lasem Klasik
Namun demikian, Batik Lasem berbeda dengan batik Encim dari Pekalongan terutama dalam tatawarnanya yang lebih mengacu pada tatawarna benda-benda porselin dari Dinasti Ming seperti warna merah, biru, merah biru, merah-biru dan hijau. Selain itu pemberian nama pada sehelai kain Batik Lasem pada umumnya berdasarkan tatawarnanya dan bukan berdasarkan pada ragam hias seperti pada penamaan batik dari daerah lain di Indonesia. Oleh karena itu, terdapat istilah Bang-bangan, kelengan, Bang biru, Bang-biru-ijo. Tatawarna ini merupakan khas batik Tionghoa Lasem dimana umumnya tidak terdapat warna sogan. Batik Lasem terkenal akan warna merahnya yang menyamai warna merah darah dan hanya bisa ditemukan pada pembatikan di Lasem. Warna merah khas Lasem (abang getih pithik) dihasilkan dari pewarna alam yang berasal dari akar pohon mengkudu (pace). Oleh sebab itu, banyak batik dari daerah lain yang warna merahnya dicelupkan di Lasem seperti misalnya batik Gondologiri dari Solo dan batik tiga negeri yang ketiga warnanya dicelupkan ditempat yang berbeda-beda, yaitu warna sogan di Solo, warna merah di Lasem dan warna biru di Pekalongan.
Untuk pembuatan sehelai kain batik tulis Lasem diperlukan waktu yang cukup lama yaitu antara tiga sampai enam bulan dan baru dapat dipasarkan. Hal ini mengingat alat-alat yang dipakai masih sangat tradisional dan semua tahapan pembuatannya dilakukan dengan menggunakan tangan.
Batik Lasem Modern Motif  Naga
Batik Lasem terdiri dari dua jenis, yaitu batik Lasem kuno dan batik Lasem modern. Batik Lasem kuno dibuat sekitar abad 20. Semua kain batik tersebut merupakan kain batik tulis dan masih menggunakan pewarna alami.  Batik Lasem modern adalah batik Lasem yang dibuat setelah kemerdekaan Indonesia, masih mempertahankan tehnik batik tulis namun sudah menggunakan pewarna kimia.
Berdasarkan hasil analisis pada batik Lasem modern ditemukan motif yang serupa dengan motif batik Lasem kuno, seperti motif pohon hayat dari India dan motif buketan dari Belanda. Hal ini menunjukkan penerapan ragam hias batik Lasem kuno dengan batik Lasem modern masih memiliki hubungan yang erat. Sama halnya dengan batik Lasem kuno, batik Lasem modern juga masih memadukan beberapa unsur budaya asing di dalamnya, salah satu budaya yang paling berpengaruh adalah budaya Tiongkok. Selain itu batik Lasem kuno dan Batik Lasem modern hingga saat ini masih mempertahankan teknik canting dalam proses membatik. Meskipun demikian pengusaha batik Lasem pernah memproduksi batik cap, tetapi karena tidak mampu bersaing dengan batik printing dari daerah lain, maka pengusaha tersebut kembali menggunakan teknik membatik tradisional yaitu menggunakan canting dalam proses membatik. Batik tulis yang diproduksi memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan batik cap maupun printing, selain itu juga memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Oleh karena itu, teknik yang menggunakan canting tersebut masih dipertahankan hingga saat ini.
Batik Lasem kuno merupakan batik yang dibuat sekitar abad ke-14 sampai dengan sebelum kemerdekaan RI, sedangkan batik Lasem modern merupakan batik yang dibuat setelah kemerdekaan RI sampai dengan saat ini. Sampel batik Lasem kuno yang penulis peroleh dibuat sekitar abad ke-20. Berdasarkan data-data tersebut dapat dilihat bahwa batik Lasem kuno merupakan perpaduan dari beberapa budaya, yaitu budaya Champa, India, Belanda, Jawa, serta budaya yang paling berpengaruh adalah budaya Tiongkok. Hal ini dikarenakan dahulu para pengusaha batik Lasem pada umumnya adalah keturunan Tiongkok, konsumen mereka pun sebagian besar adalah keturunan Tiongkok di Lasem atau di daerah lainnya, oleh karena itu motif yang digunakan adalah motif-motif yang berasal dari budaya mereka sendiri. Motif yang sering digunakan adalah motif yang melambangkan keberuntungan, kebahagiaan, kesehatan, dsb. Beda halnya dengan batik Lasem modern yang banyak menggunakan ragam hias baru seperti latohan, gunung ringgit, kricak, dll. Motif-motif baru tersebut menjadikan kehidupan sosial masyarakat di Lasem sebagai sumber inspirasi.
Berdasarkan sampel yang ada, dapat diketahui bahwa pembatik zaman dulu sangat mementingkan kualitas kain batik. Hal ini dapat dilihat dari gambar yang sangat halus yang dibuat melalui teknik canting, serta warna lembut yang diperoleh dari bahan pewarna alami yang memerlukan proses yang cukup lama dalam pengerjaannya. Batik Lasem modern tidak memerlukan waktu yang lama dalam pengerjaannya dan motif yang digambarkan pada batik Lasem modern pun sudah tidak sehalus batik Lasem kuno. Hal ini disebabkan karena para pembatik saat ini lebih mementingkan nilai ekonomi. Selain itu, batik Lasem modern sudah menggunakan bahan pewarna kimia yang akan membuat proses pembatikan menjadi lebih cepat dan praktis, sehingga mereka akan semakin cepat mendapat keuntungan.
Hasil akhir kain batik Lasem kuno pada umumnya dijadikan sebagai kain panjang ataupun sarung. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai tokwi untuk keperluan sembahyang, seprei ataupun tirai pintu yang digunakan saat upacara pernikahan. Begitu juga dengan hasil akhir kain batik Lasem modern yang masih dapat dijadikan sebagai kain panjag maupun sarung. Tetapi seiring perkembangan zaman, hasil akhir kain batik Lasem modern dapat dibuat sebagai bahan baku untuk membuat pakaian ataupun tas.

Batik Indramayu

Indramayu dan sekitarnya adalah komunitas masyarakat nelayan dan merupakan pelabuhan penting pada pantai utara Jawa yang sering disinggahi kapal-kapal asing. Membatik dikerjakan oleh para isteri nelayan pada saat para suami melaut dan bertujuan menambah income/pemasukan keluarga. Mereka menggunakan canting berukuran besar, sehingga sulit untuk mengisi penuh desain batiknya.
Untuk mengisi bidang-bidang kosong, dibuat alat cocohan dengan complongan yang berbentuk seperti sisir dengan jarum tajam yang digunakan untuk mempenetrasi kain begitu selesai dicover dengan lilin. Setelah dicelup, titik-titik membentuk warna sesuai celupan.
Desain batik Indramayu yang berciri khas desain lingkungan laut dan pesisir yang digambarkan secara harafiah, dari kiri: Dara Kipu dan Ganggeng, Jarot Asem dan Urang Ayu
Ragam hias batik Indramayu terdiri dari motif non-geometris atau organik, yaitu susunan motif yang menyebar dinamis dan atraktif memenuhi bidang kain mori. Warna batik Indramayu seperti pada umumnya batik dari daerah pesisir, memiliki ragam warna dengan komposisi yang cerah, segar dan dinamis. Motif batik yang dibuat di desa nelayan sangat dipengaruhi oleh flora dan fauna sekitarnya, sebagai contoh Jarot Asem (Asem Jawa), Dara Kipu, flora atau fauna laut Gaggeng dan Urang Ayu. Motif-motif ini yang merupakan batik kasar dan murah tetapi memiliki keunikan tinggi yang pernah dibuat oleh masyarakat.
Batik Dermayon Indramayu
Salah satu ragam hias batik dari Indramayu adalah batik Dermayon.  Ragam hias batik Dermay banyak terinspirasi oleh mahluk laut dan ornamen-ornamen dari Cina, mengingat letaknya yang berada di daerah pesisir dan adanya komunitas Cina dalam jumlah besar di daerah tersebut. Motif pada batik ini berupa sayap ganda (mirong) yang berasal dari Jawa Tengah dengan bunga-bunga dari Cina dengan latar berupa titik-titik halus yang disebut cocohan. Cocohan diperoleh dengan cara menusukkan serangkaian jarum pada permukaan kain yang sudah ditutup lilin, yang akan menghasilkan titik-titik halus setelah diwarnai.

Batik Cirebon

Pengrajin Batik Tulis di Cirebon
Cirebon merupakan salah satu daerah penghasil batik di Jawa Barat yang memiliki kekuatan dalam penggambaran setiap motifnya. Hal ini disebabkan sejarah batik di Cirebon terkait erat dengan proses asimilasi budaya serta tradisi ritual religius. Sejarah batik Cirebon dimulai ketika Pelabuhan Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan pedagang Tiongkok, Arab, Persia, dan India. Dengan adanya persinggungan budaya yang berlainan tersebut, akhirnya banyak melahirkan pembauran baik asimilasi maupun interkulturasi yang satu sama lain saling mempengaruhi.
Secara geografis, Cirebon merupakan wilayah strategis yang letaknya berada di pesisir pantai utara Jawa. Kota ini merupakan tempat bertemunya berbagai kebudayaan.  Dalam buku Purwaka Caruban Nagari yang ditulis pada tahun 1720 disebutkan, berbagai bangsa sering mengunjungi pelabuhan Cirebon, yaitu: “orang Tiongkok, Arab, Parsi, India, Malaka, Tumasik, Pasai, Jawa Timur, Madura dan Palembang”. Awal mula penduduk Cirebon konon merupakan masyarakat pendatang dari kerajaan Galuh Pakuan, yang menetap dan mendirikan sebuah perkampungan nelayan. Kondisi perkampungan tersebut semakin lama terus berkembang dan pada akhirnya menjadi kerajaan Cirebon. Demikian pula dengan terjadinya migrasi penduduk dari Jawa Tengah ke Cirebon untuk mencari penghidupan baru. Hal ini menambah semarak dan beragamnya masyarakat yang bermukim di wilayah Cirebon.
Batik Cirebon Motif Taman Arum Sunyaragi 
Salah satu asimilasi dari berbagai pengaruh budaya tersebut dapat terlihat dalam perwujudan seni batik di Cirebon. Secara visual batik Cirebon memiliki banyak ragam dan corak yang menggambarkan betapa banyaknya pengaruh dari luar, baik mancanegara maupun daerah sekitar yang memiliki hubungan erat dengan Cirebon. Pengaruh dari luar yang tampak pada batik Cirebon berasal dari Tiongkok , Arab (dunia Islam) dan India (mitologi Hindu). Di antara tiga budaya tersebut, seni rupa Tiongkok memiliki pengaruh yang sangat besar. Hubungan erat antara Cirebon dengan Tiongkok terjadi karena para saudagar dari Tiongkok sering tinggal dan menetap di daerah ini. Selain itu banyak di antara orang Tiongkok yang menikah dengan penduduk setempat. Demikian pula dengan menikahnya Sunan Gunungjati dengan Oeng Tien, seorang putri dari kekaisaran Tiongkok memiliki dampak yang sangat besar pada bidang seni dan arsitektur di Cirebon. Hal ini misalnya, dapat dilihat dengan adanya ragam hias awan dan bebatuan yang terdapat di keraton Kasepuhan dan Taman Sunyaragi. Hal serupa terdapat pula pada motif kain batik, yang di antaranya pada batik motif Taman Arum.
Hubungan Cirebon sebagai daerah pelabuhan dengan daerah-daerah lainnya dengan para pendatang dari berbagai negeri yang membawa tata-nilai seni budaya telah menjadikan Cirebon mengalami suatu pembauran budaya baik secara internal dan eksternal. Hubungan perdagangan yang erat antara Cirebon dengan negeri Tiongkok, Arab, India (Hindu), telah pula menyebabkan kultur Cirebon berpadu dengan kulturkultur asing tersebut. Perpaduan budaya tersebut pada akhirnya telah membuahkan corak-corak cultural yang beragam pada kebudayaan Cirebon umumnya. Batik Cirebon memiliki keunikan dan kekuatan dalam penggambaran desain motifnya yang telah diakui masyarakat pencinta batik. Batik Cirebon sendiri termasuk golongan batik pesisir, namun sebagian batik Cirebon juga termasuk dalam kelompok batik kraton. Apabila dilihat dari sisi ragam hiasnya, maka batik Cirebon memiliki dua ragam hias, yakni batik pesisiran yang dipengaruhi budaya Tiongkok dan batik kraton yang banyak dipengaruhi oleh agama Hindu dan Islam.
Pengrajin Batik Trusmi - Cirebon
Cirebon merupakan salah satu sentra batik di pulau Jawa yang memiliki perjalanan panjang. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari peran pusat pemerintahan (Keraton Cirebon) dan lingkungan sosial masyarakat penyangga tradisi membatik, seperti beberapa tempat produksi batik, yakni Kenduruan, Paoman, Trusmi, dan Kalitengah. Dari beberapa sentra seni kerajinan batik tersebut hanya di desa Trusmi yang masih bertahan hingga saat ini. Pengrajin batik Trusmi merupakan pemasok batik untuk memenuhi kebutuhan Keraton. Motif batik untuk keperluan ini memiliki makna filosofis. Di samping itu pengrajin batik Trusmi juga memproduksi batik gaya pesisiran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Gaya ini lebih dinamis dalam mengikuti selera pasar tanpa harus memiliki makna filosofis.
Pertumbuhan dan perkembangan batik Cirebon yang memiliki kedua klasifikasi yaitu batik Pesisir dan batik kraton adalah bukti betapa uniknya batik Cirebon tersebut. Perkembangan batik Cirebon dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini cukup melonjak dari sisi jumlah (Data Yayasan Batik Jawa Barat). Ketika batik diakui oleh UNESCO sebagai World Heritage (Warisan Dunia) pada tahun 2009, berbusana batik menjadi mode dan batik Cirebon kembali berkembang lagi dengan hasil dari produksi yang awalnya hanya berupa kain, berkembang menjadi aneka ragam bentuk dan jenisnya dari bahan dan barang jadi yang beraneka ragam, dari busana dan aksesoris yang semua bermotif ciri khas Cirebonan. Dahulu batik Cirebon umumnya digunakan untuk kain sinjang (jarik) berupa lembaran-lembaran kain yang menggunakan warna dan motif-motif tradisional, kini juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sandang dan lainnya, beberapa pengrajin telah mengembangkan produk batik lebih bervariasi dan mengikuti perkembangan zaman.

Batik Pesisir Motif India

Batik Motif Chintz/Sembagi Flores
Batik India adalah wastra batik yang menerapkan ragam hias wastra dari India yaitu kain Patola dan Chintz atau Sembagi. Jenis batik ini mulai dibuat oleh pedagang Arab dan Cina pada awal ke-19 di kawasan pantai utara Pulau Jawa terutama Cirebon dan Lasem.
Setelah perdagangan Nusantara dengan India menurun mengakibatkan sulitnya memperoleh kedua kain tersebut, maka awal abad ke-19 atau akhir abad ke-18 banyak pengusaha batik terutama orang Cina dan Arab membuat tiruan Patola dan Chintz guna mengisi kekosongan pasar, melalui kedua jenis kain inilah unsur budaya India mempengaruhi ragam hias batik. Batik yang menggunakan ragam hias dari kain Sembagi disebut batik Sembagi sementara kain yang menampilkan tiruan pola tenun Patola disebut batik Jlamprang atau batik Nitik.
Batik Motif Patola

Daerah penghasil batik India atau batik Sembagi adalah Cirebon, Lasem, Pekalongan setelah abad ke-17 dan mendapatkan respon pasar yang bagus di Sumatra.Oleh karena itu, di Sumatra hanya batik Sembagi yang tumbuh dan berkembang karena sangat digemari oleh masyarakat Jambi dan Palembang dalam bentuk kain bang–biru (merah biru). Patra Sembagi saat ini telah menjadi ciri khas batik Jambi, yang patranya diperindah dengan menghadirkan ragam hias batik stilisasi dari buah–buahan dan sebagian besar masih menampilkan warna biru indigo, merah mengkudu dan beberapa warna soga.
Batik Jlamprang
Disamping itu, kegemaran bangsawan keraton Surakarta dan Yogyakarta memakai kain Patola mengakibatkan kain batik ini masuk ke lingkungan keraton dan para pengrajin batik keraton meniru pola ini. Tiruan pola-pola tenun Patola di Pekalongan, Surakarta dan Yogyakarta berbeda dan menghasilkan batik dengan warna berbeda. Hal ini terjadi karena pengaruh lingkungan tempat berkembang berbeda. Pengaruh lingkungan pada batik Nitik sangat kuat, terbukti di Pekalongan tiruan pola tenun Patola dengan batik menghasilkan batik Jlamprang.

BUKU KAMI DI GOOGLE BOOKS

title

BUKU NOVEL KOMEDI ANAK SEKOLAH
 
Support : Batik Tradisional Indonesia | Motif Batik | Keanekaragaman Batik
Copyright © 2013. Batik Tradisional Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by BatikDan
Proudly powered by Blogger