FEEDBURNER

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Latest Article Get our latest posts by subscribing this site

Batik Pagi Sore

Batik Pagi Sore
Batik Pagi Sore
Kain batik pagi-sore, yaitu kain batik yang terbagi dua oleh dua motif yang bertemu di bagian tengah kain secara diagonal. Desain penempatan motif batik seperti ini telah ada pada tahun 1930 di Pekalongan. Desain batik pagi-sore sangat populer pada jaman penjajahan Jepang karena pada waktu itu karena sulitnya hidup, untuk penghematan, pembatik membuat kain batik pagi-sore. Satu kain batik dibuat dengan dua desain motif yang berbeda. Sehingga jika pada pagi hari kita menggunakan sisi motif yang satu, maka sore harinya kita dapat mengenakan motif yang berbeda dari sisi kain yang lainnya, sehinga terkesan kita memakai 2 kain yang berbeda padahal hanya 1 lembar kain. Warna yang lebih gelap biasanya dipakai di bagian luar untuk pagi dan siang hari, sementara bagian batik yang berwarna pastel dipakai pada acara malam hari.  Motif pagi sore banyak ditemui pada Batik Djawa Hokokai di pekalongan pada saat pendudukan Jepang (1942-1945) pada saat berlangsungnya perang dunia II. .
Sebagai dampak adanya perang dunia II, perdagangan mori dan obat pewarna terputus, sehingga persediaan menipis. Kalaupun ada, harganya sangat mahal. Pada masa ini pembatik Pekalongan membuat batik baru, yang lebih rumit dan dibuat dengan sistem padat karya, dengan tujuan memperlambat produksi tetapi tidak kehilangan pekerja.  Para pengusaha batik saat itu melakukan penyesuaian produk batik kepada penguasa baru dengan maksud supaya mereka mendapat tempat di pemerintahan. Batik Djawa Hokokai dibuat di perusahaan batik orang Indo-Eropa, Indo-Arab, dan Peranakan, yang diharuskan bekerja untuk orang-orang Jepang, dengan alas an karena kualitas pekerjaan mereka yang sangat halus. Sedangkan kain katunnya dipasok oleh orang-orang yang ditunjuk oleh tentara pendudukan Jepang.
Pola pagi-sore menggambarkan suasana saat itu di mana kain sangat terbatas sehingga pembatik memiliki banyak waktu untuk mengerjakan selembar kain dengan ragam hias yang padat. Sebagian batik Djawa Hokokai ada yang menggunakan susumoyo yaitu motif yang dimulai dari salah satu pojok dan menyebar ke tepi-tepi kain tetapi tidak bersambung dengan motif serupa dari pojok yang berlawanan.
Kupu-kupu merupakan salah satu motif hias yang menonjol selain bunga. Meskipun kupu-kupu tidak memiliki arti khusus untuk masyarakat Jepang, tetapi orang Jepang sangat menyukai kupu-kupu. Motif dominan lainnya adalah bunga. Yang paling sering muncul adalah bunga sakura (cherry) dan krisant, dahlia, anggrek, mawar, lili, dan teratai. Sedangkan motif yang lain yaitu burung, dan selalu burung merak yang merupakan lambang keindahan dan keanggunan. Motif ini dianggap berasal dari Cina dan kemudian masuk ke Jepang.

Sejarah Batik Tulis Bakaran

Pengrajin Batik Tulis Bakaran
Wilayah Desa Bakaran Wetan merupakan daerah pesisir kabupaten Pati yang oleh penduduk setempat dimanfaatkan sebagai tempat pemukiman, ladang, sawah tadah hujan, tambak serta sebagai tempat usaha lainnya termasuk pembuatan barang seni yaitu batik.  Keberadaan batik bakaran ini tak lepas dari usaha Nyai Sabirah sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan dan mengajarkan membatik para wanita di sekitar Bakaran. Beliau dengan sabar mengajari mereka membatik bagaimana cara memegang canting (alat untuk membatik) cara meniup lubang canting, cara merebus malam, cara menghubungkan titik-titik dan cara menorehkan ujung canting ke kain yang sudah digambar. Sampai sekarang wanita-wanita Desa Bakaran banyak yang menekuni kerajinan batik, dan sampai saat ini-pun Bakaran merupakan sentral kerajinan batik di wilayah Kabupaten Pati.
Nyai Sabirah juga sama seperti RA. Kartini, waktu itu beliau juga berkeinginan untuk mengangkat derajat kaum wanita di Bakaran Wetan agar sederajat dengan kaum laki-laki. Cara yang dilakukan Nyai Sabirah adalah mengajarakan wanita Bakaran Wetan untuk bertani dan membatik dengan penuh rasa sabar karena beliau sadar pada dasarnya martabat wanita itu sama baik dalam hubungannya manusia dengan Tuhan Yang
Maha Esa dan begitu juga hubunganya dengan mahkluk sosial. Nyai Sabirah juga mengubah pandangan masyarakat khususnya masyarakat Bakaran wetan bahwa wanita juga dapat memimpin, juga dapat bekerja menghidupi keluarganya, tidak hanya lelaki saja yang dapat memimpin dan bekerja.
Nyai Sabirah adalah keturunan dari kerajaan Majapahit. Pada saat kerajaan Majapahit terjadi perang saudara, tiba-tiba pemberontak membakar kerajaan Majapahit selama tiga hari tiga malam keadaan yang sudah kacau balau itu diperparah lagi dengan datangnya pasukan tentara Demak di bawah pimpinan Raden Patah (1500-1518) sebenarnya Raden Patah ini bermaksud baik ingin menumpas pemberontak di kerajaan Majapahit, akan tetapi kerajaan Majapahit beranggapan bahwa Demak memberontak melawan Majapahit.
Banyak keluarga Majapahit yang melarikan diri meninggalkan kerajaan untuk menyelamatkan diri termasuk di dalamnya kakak beradik Ki Dukut dan adiknya Nimas Sabirah, perjalanan kakak beradik itu sampailah ke suatu hutan belantara mereka berdua bergotong-royong membuka lahan pertanian dan tempat tinggal dengan cara membabat hutan tersebut,di saat mereka berdua bergotong-royong, sang adik meminta kepada kakaknya agar dia dibebaskan dari tugas pembabatan hutan tersebut dengan alasan tugas itu berat bagi seorang perempuan, bahwa tenaga laki-laki tentunya lebih kuat dan mampu membuka lahan yang banyak dibanding perempuan.
Sang adik mempunyai usul kepada kakaknya "Kak...kamu adalah seorang laki-laki pasti wilayahmu lebih luas dari aku,” kata Nimas Sabirah kepada kakaknya "Aku punya usul begini kak, supaya adil kalau seandainya aku mengumpulkan sedikit sampah dan membakarnya, nanti di mana jatuhnya abu di situlah wilayah bagianku, bagaimana menurutmu kak?", lanjut Nimas Sabirah kepada kakaknya.  Kemudian kakak-nya menjawab "Sebagai kakak yang bijaksana aku setuju dengan usulanmu".
Mulailah Nimas Sabirah mengumpulkan sampah yang kemudian membakarnya. Atas izin Sang Pencipta tiba-tiba angin bertiup sangat kencang dan membawa abu sampah itu berterbangan ke mana-mana sesuai perjanjian dengan sang kakak, maka di mana abu (langes) itu jatuh di situlah wilayah sang adik. Pembabatan hutan itu mengundang perhatian masyarakat di sekitar hutan untuk ikut bergabung. Mereka membantu membabat hutan untuk tempat tinggal dan membuka usaha mereka banyak warga masyarakat yang ikut bergabung, semakin luas pula wilayah baru tersebut, tidak lagi sebuah desa kecil, tetapi menjadi perkampungan baru yang sangat luas dengan penduduk yang cukup banyak. Wilayah jatuhnya abu itu kemudian disebut Desa Bakaran.
Nimas Sabirah di Desa Bakaran itu mengajak warga masyarakat untuk hidup rukun, gotong-royong dan saling tolong-menolong. Nyai Sabirah memberi contoh warga masyarakat untuk mengolah lahan pertanian dengan baik dan beliau juga ikut bertani sebagaimana masyarakat desa itu. Nimas Sabirah ingat akan pesan orang tua dan leluhurnya agar dia menjadi wanita yang utama. Pengertian wanita yang utama menurut orang Jawa dimaksudkan bahwa seorang wanita dituntut mempunyai keutamaan moral dalam menjalin hubunganya dengan Tuhan Yang Maha Esa dan hubungannya sesama melalui segala aspek jasmani maupun rohani. Nimas Sabirah beranggapan bahwa wanita mempunyai martabat sederajat dengan pria, baik dari segi hubungannya dengan Tuhan maupun sebagai makhluk sosial.
Nimas Sabirah dengan kecerdasannya mengajak masyarakat untuk membangun suatu bangunan tempat berkumpul sekaligus tempat pencerahaan jiwa. Bangunan itu terletak disamping rumahnya. Masyarakat bergotong-royong membangun tempat itu dengan senang hati. Bangunan itu bentuknya seperti masjid, menghadap ke timur mengarah ke kiblat, namun bangunan itu tidak ada tempat untuk pengimaman (tempat memimpin sholat). Bangunan itu terdiri dari ruang utama atau ruang dalam dan serambi. Orang memberi nama atau menyebutnya bangunan Sigit (Isine Wong Anggit) bangunan Sigit ini digunakan oleh Nyai Sabirah sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Bakaran Wetan ketika Nyai Sabirah panen beliau mengumpulkan warganya untuk makan bersama dan malamnya menonton pertunjukan wayang.
Bangunan Sigit itu sampai saat ini masih terawat kokoh dan bahkan pernah direnovasi warga Bakaran tahun 1923. Tulisan yang tertera pada pintu utama sigit tertulis dengan jelas 15 September 1923. Serambi sigit pernah direnovasi generasi penerusnya dan dalam blandar (kayu) tertulis 10 November 1949. Pada kayu punden-pun pernah direnovasi dan tertulis dengan jelas 15 Februari 1957.
Nimas Sabirah selain mendirikan bangunan sigit juga membangun sumur, yang dibagian atas sumur itu dibangun dengan batu bata merah. Seperti kebiasaan wanita pedesaan lainnya Nimas Sabirah juga melakukan aktivitas yang sama memasak, mandi dan mencuci. Sumur itu sampai saat ini masih terawat dan konon air sumur itu dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit dan tempat untuk membuktikan orang yang telah melakukan kesalahan dan orang itu tidak mengakui kesalahanya.
Nyai Sabirah walaupun seorang wanita, beliau mempunyai piaraan yang sangat unik yaitu ayam jantan. Ayam jantan Nyai Sabirah selalu berkokok setiap paginya untuk membangunkan warga masyarakat untuk segera bangun dan mencari nafkah. Ayam jantan itu di beri nama Jago Tunggul Wulung dan ayam jantan piaraan Nyai Sabirah ini tidak terkalahkan apabila ditandingkan dan yang bertugas merawatnya adalah Bagus Kajieneman.
Kelembutan serta kasih sayang dan kedermawanan Nyai Sabirah menjadikan beliau dikenal banyak orang. Banyak tamu-tamu berdatangan dari segala penjuru dan segala lapisan masyarakat. Tamu-tamunya menyebutnya dengan sebutan Nyai Ageng Bakaran (Orang Agung di Bakaran). Setiap ada tamu dari luar wilayah yang datang selalu dimuliakan dan disambut dengan senyuman.  Nyai Sabirah melaksanakan ungkapan jawa bahwa “Ulat sumeh agawe renane wong akeh” orang yang selalu tersenyum pasti membuat banyak orang bahagia. Setiap tamu yang datang selalu diaruh, disuguh, direngkuh. Diaruh maksudnya setiap tamunya yang datang disambut dengan kata-kata yangmenyejukan hati dan menyenangkan. Disuguh setiap tamu yang datang selau diberi minuman dan makanan. Direngkuh setiap tamu yang datang dianggap saudara.
Dalang Sapanyana dan Trunajaya Kusuma adalah anak asuh dari Nyai Sabirah yang membantu beliau untuk menjamu para tamu, selain itu Nyai Sabirah juga mengajarkan membatik para wanita di sekitar Bakaran. Beliau dengan sabar mengajari mereka membatik bagaimana cara memegang canting (alat untuk membatik) cara meniup lubang canting, cara merebus malam, cara menghubungkan titik-titik dan cara menorehkan ujung canting ke kain yang sudah digambar. Sampai sekarang wanita-wanita Desa Bakaran banyak yang menekuni kerajinan itu, dan sebagai khasanah Batik Tradisional Indonesia.

Cara Pembuatan Batik Tulis

Membatik Tulis
Proses membuat batik secara tradisonal ini dari dahulu tidak mengalami banyak perubahan sampai sekarang. Melihat dari bentuk dan fungsinya peralatan batik ini cukup tradisional dan unik, sesuai dengan caranya yang masih tradisional. Peralatan batik tradisional ini merupakan bagian dari batik tradisional itu sendiri karena bila dilakukan perubahan dengan menggunakan alat/mesin yang lebih modern maka akan merubah nama batik tradisonal menjadi kain motif batik. Hal ini menunjukkan bahwa cara membatik ini memiliki sifat yang khusus dengan hasil seni batik tradisional. Bila dilihat dari segi waktu dan jumlah yang dihasilkan yang sangat terbatas serta hasil seni dari coretan canting pada kain mori akan menghasilkan seni batik yang bernilai tinggi dan harga yang relatif mahal.
Adapun peralatan yang digunakan dalam membuat batik tulis adalah sebagai berikut:
A. Bandul
Bandul

Bandul dibuat dari timah, atau kayu, atau batu yang dikantongi. Fungsi pokok bandul ialah untuk menahan mori yang baru dibatik agar tidak mudah tergeser ditiup angin, atau tarikan si pembatik secara tidak disengaja. Jadi tanpa bandul pekerjaan membatik dapat dilaksanakan.
B. Canting
Canting
Canting merupakan alat untuk melukis atau menggambar dengan coretan lilin malam pada kain mori. Canting ini sangat menentukan nama batik yang akan dihasilkan menjadi batik tulis. Alat ini terbuat dari kombinasi tembaga dan kayu atau bambu yang mempunyai sifat lentur dan ringan.
C. Dingklik
Dingklik
Dingklik merupakan tempat duduk orang yang membatik, tingginya disesuaikan dengan tinggi orang duduk saat membatik.
D. Gawangan
Gawangan
Gawangan terbuat dari kayu atau bamboo yang mudah dipindah-pindahkan dan kokoh. Fungsi gawangan ini untuk menggantungkan serta membentangkan kain mori sewaktu akan dibatik dengan menggunakan canting.
E. Wajan
Wajan ialah perkakas untuk mencairkan “malam” (lilin untuk membatik). Wajan dibuat dari logam baja, atau tanah liat. Wajan sebaiknya bertangkai supaya mudah diangkat dan diturunkan dari perapian tanpa mempergunakan alat lain. Oleh karena itu wajan yang dibuat dari tanah liat lebih baik daripada yang dari logam karena tangkainya tidak mudah panas. Tetapi wajan tanah liat agak lambat memanaskan “malam”.
F. Anglo (Kompor)
Anglo dan Wajan
Anglo dibuat dari tanah liat, atau bahan lain. Anglo ialah alat perapian sebagai pemanas “malam”. Kompor dibuat dari Besi dengan diberi sumbu.. Apabila mempergunakan anglo, maka bahan untuk membuat api ialah arang kayu. Jika mempergunakan kayu bakar anglo diganti dengan keren; keren inilah yang banyak dipergunakan orang di desa-desa. Keren pada prinsipnya sama dengan anglo, tetapi tidak bertingkat.
G. Tepas
Tepas
Tepas ini tidak dipergunakan jika perapian menggunakan kompor. Tepas ialah alat untuk membesarkan api menurut kebutuhan; terbuat dari bambu. Selain tepas, digunakan juga ilir. Tepas dan ilir pada pokoknya sama, hanya berbeda bentuk. Tepas berbentuk empat persegi panjang dan meruncing pada salah satu sisi lebarnya dan tangkainya terletak pada bagian yang runcing itu.
H. Taplak
Taplak berfungsi untuk menutup dan melindungi paha pembatik dari tetesan lilin malam dari canting.
I. Kemplongan
Kemplongan
Kemplongan merupakan alat yang terbuat dari kayu yang berbentuk meja dan palu pemukul alat ini dipergunakan untuk menghaluskan kain mori sebelum diberi pola motif batik dan dibatik.
Mengolah mori sebelum dibatik
Mencuci Mori
 Sebelum dibatik mori harus diolah lebih dahulu. Baik buruknya pengolahan akan menentukan baik buruknya kain. Pengolahan mori adalah sebagai berikut: Mori yang sudah dipotong diplipit. Diplipit ialah dijahit pada bekas potongan supaya benang “pakan” tidak terlepas. Benang pakan ialah benang yang melintang pada tenunan. Setelah diplipit kemudian dicuci dengan air tawar sampai bersih. Kalau mori kotor, maka kotoran itu akan menahan meresapnya cairan lilin (malam yang dibatikkan) dan menahan cairan warna pada waktu proses pembabaran. Di daerah Yogyakarta dan Surakarta mori dijemur sampai kering setelah dicuci. Tetapi didaerah Blora, setelah dicuci berih mori terus direbus.
Setelah wantu panas, mori bersih dimasukkan kedalamnya. Cara memasukkan mori kedalam wantu mulai dari ujung sampai pangkal secara urut. Rebusan memakan waktu beberapa menit. Mori kemudian diangkat dan dicuci untuk menghilangkan kotoran sewaktu direbus.
Penjemuran Mori
Selesai dicuci barulah dijemur sampai kering. Mori menjadi lemas; kemudian dikanji. Bahan kanji adalah beras. Didaerah Blora dipakai sembarang beras asalkan putih. Beras direndam beberapa saat dalam air secukupnya; kemudian beras bersama airnya direbus sampai mendidih. Air rebusan beras diambil dan dinamakan tajin. Mori kering dimasukkan kedalam tajin sampai merata; tanpa diperas langsung dijemur supaya kering. Akhirnya mori menjadi kaku. Setelah mori lembab, kemudian dikemplong. Dikemplong ialah dipukuli pada tempat tertentu dengan cara tertentu pula, supaya benangbenang menjadi kendor dan lemas, sehingga cairan lilin dapat meresap. Cara mengemplong mori. Disediakan kayu kemplongan sebagai alas dan alu pemukul atau “ganden” (ganden ialah martil agak besar terbuat dari kayu). Mori dilipat memanjang menurut lebarnya. Lebar lipatan lebih kurang setengah jengkal; kemudian ditaruh diatas kayu dasar memanjang, lalu dipukul-pukul. Jika perlu dibolak-balik agar pukulan menjadi rata.
Pengemplongan
Setelah dikemplong, tinggal menentukan motif batikan yang dikehendaki. Jika ingin motif parang-parangan, atau motif-motif yang membutuhkan bidang-bidang tertentu, maka mori digarisi lebih dahulu. Fungsi penggarisan ini hanyalah untuk menentukan letak motif agar menjadi rapi (lurus). Pembatik yang sudah mahir tidak menggunakan penggarisan. Besar kecilnya garisan tidak sama, tergantung pada motif rencana batikan. Biasanya kayu garisan berpenampang bujursangkar.
Cara memindah kayu penggaris setelah garis pertama ke garis kedua ialah dengan memutar kayu penggaris (membalik), tanpa mengang-katnya. Maka lebar sempitnya ruang antara garis satu sama lain ditentukan oleh banyaknya putaran kayu penggaris. Mori yang dibatik motif semen tidak perlu digarisi, langsung dirangkap dengan pola pada muka mori sebaliknya. Setelah semua itu selesai, barulah dapat dimulai kerja membatik.
Mori yang sudah di kemplongi dan di garisi, apabila akan dibatik dengan motif jenis parang-parangan atau motif lain yang membutuhkan bidang tertentu serta lurus, umumnya di”rujak”. Dirujak artinya membatik tanpa mngunakan pola; orang yang membatik demikian disebut “ngrujak”. Orang yang Ngrujak adalah orang yang sudah ahli. Sedang orang yang baru taraf belajar atau belum lahir biasanya hanya “nerusi” atau “ngisen-ngiseni”. Sedangkan membatikdengan mempergunakan pola sudah diterangkan dimuka. Baik membatik rujak maupun membatik mempergunakan pola biasanya dilakukan oleh orang-orang yang sudah ahli, sebab taraf permulaan ini merupakan penentuan burukbaiknya bentuk batikan secara keseluruhan.
B. Persiapan Membatik
a. Keren, atau anglo dan wajan berisi “malam” harus sudah siap untuk mulai membatik. Malam harus sempurna cairnya (malam tua). Supaya lancar keluarnya melalui cucuk canting; selain itu malam dapat meresap dengan sempurna dalam mori. Api dalam anglo atau keren harus dijaga tetap membara, tetapi tidak boleh menyala, karena berbahaya kalau menjilat malam dalam wajan.
b. Mori yang sudah dipersiapkan harus telah berada diatas gawangan dekat keren, anglo. Si pembatik duduk diantara gawangan dan keren atau anglo. Gawangan berdiri disebelah kiri dan keren disebelah kanan pembatik. Orang yang pekerjaannya membatik disebut “pengobeng”.
c. Setelah semuanya beres pembatik memulai tugasnya. Pertama memegang canting. Cara memegang canting berbeda dengan cara memegang pensil, atau pulpen untuk menulis. Perbedaan itu disebabkan ujung cucuk cantingbentuknya melengkung dan berpipa besar, sedang pensil atau pulpen lurus. Memegang canting dengan ujung-ujung ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah seperti memegang pensil untuk menulis, tetapi tangkai canting horizontal, sedangkan pensil untuk menulis dalam posisi condong. Posisi canting demikian itu untuk menjaga agar malam dalam nyamplunga tidak tumpah.
d. Dengan canting itu pengobeng menciduk malam mendidih dalam wajan kemudian dibatikkan diatas mori. Sebelum dibatikkan canting ditiup lebih dahulu cara meniuppun dengan aturan tertentu, agar malam dalam nyamplungan tidak tumpah pada bibir pengobeng.
Canting ditiup dengan maksud :
Meniup Canting
  • Untuk mengembalikan cairan malam dalam cucuk kedalam nyamplungan, supaya tidak menetes sebelum ujung canting ditempelkan pada mori.
  • Untuk menghilangkan cairan malam yang membasahi cucuk canting; karena cucuk canting yang berlumuran cairan malam akan mengurangi baiknya goresan, terutama ketika permulaan canting diproseskan pada mori.
  • Untuk mengontrol cucuk canting dari kemungkinan tersumbat oleh kotoran malam. Kalau tersumbat, maka cairan dalam nyamplungan tidak bersuara, karena udara tidak dapat masuk. Maka lubang ujung cucuk ditusuk memakai ijuk, atau serabut kelapa sampai masuk sepanjang cucuk. Biasanya sesudah ditusuk ditiup kembali, atau langsung dibatikkan pada mori. Keitimewaan menusuk ialah memakai tangan kiri dengan cara tertentu dalam waktu yang cepat.
  • Canting yang beres keadaannya baru digoreskan pada mori. Tangan kiri terletak disebalik mori. Sebagai landasan (penguak) mori yang baru digores dengan canting. Jika cari cairan malam dalam nyamplungan habis, atau kurang lancar mungkin karena pendinginan, malam itu dikembalikan kedalam wajan; canting dicidukkan pada cairan malam dalam wajan itu juga. Pengembalian cairan malam yang sudah dingin tadi tidak besar pengaruhnya terhadap malam dalam wajan. Hal itu dilakukan smpai selesai, dan termasuk nemboki.
C. Membatik
Tahap-tahap membatik sepotong mori harus dikerjakan tahap demi tahap. Setiap tahap dapat dikerjakan oleh orang yang berbeda tetapi sepotong mori tidak dapat dikerjakan beberapa orang bersamaan waktu.
Tahap-tahap itu ialah :
a. Membatik Kerangka
membatik kerangka dengan memakai pola disebut “mola”, sedang tanpa pola disebut “ngrujak”. Mori yang sudah dibatik seluruhnya berupa kerangka, baik bekas memakai pola maupun dirujak, disebut “batikkan kosongan”, atau disebut juga “klowongan’. Canting yang dipergunakan ialah canting cucuk sedeng yang disebut juga canting klowongan.
b. Ngisen-iseni
Ngisen-Iseni
Ngisen-iseni dari kata “isi”, maka ngisen-iseni berarti memberi isi atau mengisi. Ngisen iseni dengan mempergunakan canting cucuk kecil disebut juga canting isen canting isen bermacam-macam. Tetapi sepotong mori belum tentu mempergunakan seluruh macam canting isen, tetapi tergantung pada motif yang akan dibuat.Umpama memerlukan bermacam-macam canting isen karena beraneka ragam. Tetapi membatik harus satu persatu, dan setiap bagian harus selesai sebelum bagian lain dikerjakan dengan canting lain misalnya kalau “nyeceki” (membuat motif yang terdiri dari titik-titik), bagian cecekan harus selesai seluruhnya. Kegiatan mengerjakan bagian-bagian mempunyai nama masing-masing; nama tersebut menurut nama canting yang dipergunakan. Proses pemberian nama ialah dengan mengubah nama benda (nama canting) menjadi kata kerja, sedang hasil kerjanya diambil dari nama canting yang dipergunakan. Nama itu ialah : nyeceki yaitu mempergunakan canting cecekan, hasilnya bernama cecekan. Neloni ialah mempergunakan canting Telon, hasilnya disebut telon. Mrapati ialah mempergunakan Canting Prapatan, hasilnya, dan seterusnya. Tetapi mempergunakan Canting Galaran atau Canting Renteng, selalu disebut ngalari, dan tidak pernah disebut “ngrentengi”; sedang hasilnya selalu disebut “galaran”, tidak pernah disebut “rentengan”. Cara penggunaan canting bertahap itu banyak keuntungannya. Keuntungan pertama ialah canting dapat dipergunakan bergantian dalam satu rombongan pengobeng (pembatik yang berbeda-beda tugasnya (berbeda tahap batikan yang dikerjakan); Keuntungan kedua kedua ialah mengurangi jumlah canting yang semacam meskipun anggota pengobeng cukup banyak. Kalau dua orang bersamaan akan menggunkan canting semacam, sedangkan cantinga hanya sebuah, maka salah satu dapat menundanya dan mengerjakan bagian lain dengan canting lain. Demikian seterusnya. Batikkan yang lengkap dengan isen-isen disebut “reng-rengan”. Oleh kaena namanya reng-rengan maka pengobeng yang membatik sejak permuaan sampai penyelesaian (akhir) memberi isen-isen disebut “ngengreng”. Jadi ngerengan merupakan kesatuan motif dari keseluruhan yang dikehendaki. Hal itu merupakan penyelesaian yang pertama.
c. Nerusi
Nerusi merupakan penyelesaian yang kedua. Batikan yang berupa ngengrengan kemudian di balik permukaannya, dan dibatik kembali pada permukaan kedua itu. Membatik nerusi ialah membatik mengikuti motif pembatikan pertama pada bekas tembusnya. Nerusi tidak berbeda dengan mola dan batikan pertama berfungsi sebagai pola. Canting-cantingyang dipergunakan sama dengan canting canting untuk ngengreng nerusi terutama untuk mempertebal tembusan batikan pertama serta untuk memperjelas. Batikan yang selesai pada tahap ini pun masih disebut “ngengrengan”. Pengobeng yang membatik dari permulaan sampai selesai nerusi disebut “ngengreng”.
d. Nembok
Menembok
Sebuah batikan tidak seluruhnya diberi warna, atau akan diberi warna yang bermacam-macam pada waktu penyelesaian menjadi kain. Maka bagian-bagian yang tidak akan diberi warna, atau akan diberi warna sesudah bagian yang lain harus ditutup dengan malam. Cara menutupnya seperti cara membatik bagian lain dengan mempergunakan canting tembokan. Canting tembokan bercucuk besar. Orang yang mengerjakan disebut “Nembok” atau nemboki dan hasilnya disebut “tembokan”. Bagian yang ditembok biasanya disela-sela motif pokok. Menembok biasanya mempergunakan malam kualitas rendah. Meskipun malam penuh kotoran tetapi canting canting bercucuk besar tidak banyak terganggu. Selain itu bagian tembokan cukup lebar dan tebal,sehingga kurang baiknya malam untuk nembok dapat diatasi. Pada hakekatnya fungsi malam selain untuk membentuk motif, juga untuk menutup pada tahap-tahap pemberian warna kain, dimana warna itu sebagai pembentuk motif batik yang sesungguhnya. Nembok hanya pada sebelah muka mori.
e. Bliriki
Mbliriki
Bliriki ialah nerusi tembokan agar bagian-bagian itu tertutup sungguh-sungguh. Bliriki mempergunakan canting tembokan dan caranya seperti nemboki.
Apabila tahap terakhir ini sudah selesai berarti proses membatik selesai juga. Hasil Bliriki disebut “blirikan” tetapi jarang disebut demikian, lebih biasa disebut”tembokan”. Memang membatik disebut selesai apabila proses terakhir tadi selesai; atau kalau batikan tidak perlu ditembok,maka yang disebut batikan selesai adalah sebelum ditembok. Pada jaman yang silam didaerah Surakarta, setiap selesai tahap-tahap tadi, batikan dijemur sampai “malam “ nya hampir meleleh.
Maksud penjemuran itu ialah agar supaya lilin pada mori tidak mudah rontok atau hilang. Sebab “malam” (mendidih) waktu dipergunakan untuk membatik dan bersinggungan dengan mori dingin akan membeku tiba-tiba karena proses “kejut”. Pembekuan malam demikian itu kurang baik, karena batikan sering patah-patah dan malam mudah rontok. 
Penjemuran
Tetapi jika dijemur,pemanasan terjadi secara merata, dan mori ikut terpanasi.Mori yang mengalami pemanasan sinar matahari akan mengembang, dan mempunyai daya serap. Proses mengembang ini memperkuat melekatnya malam yang mulai akan meleleh; sebelum malam itu meleleh batikan harus diangkat dengan hati-hati ke tempat teduh.
Di tempat teduh, batikan secara serentak akan mendingin. Proses pendinginan ini pun ada keuntungannya, karena antara mori dan malam saling memperkuat daya lekat. Selesailah kerja membatik.
D. Mbabar
Pembabaran
Mbabar ialah proses penyelesaian dari batikan menjadi kain. Selesai batikan dibliriki, meningkat pengerjaan selanjutnya, yaitu memproses menjadi kain. Dibeberapa daerah cara mbabar pada garis besarnya sama.
Perbedaan hanyalah terletak pada perbandingan bahan adonan yang dipergunakan. Ada suatu daerah dimana perbandingan bahan adonan sudah tertentu sesuai dengan kain yang diinginkan. Tetapi ada pula daerah yang mempergunakan perbandingan tidak menentu dan hanya berdasar perkiraan menurut pengalaman. Selain itu perbedaan terletak pada jangka waktu yang dibutuhkan setiap tahap-tahap mbabar. Ada pula yang mempergunakan jangka waktu tertentu; tetapi ada pula yang berdasar perkiraan saja. Perbedaan-perbedaan itu mempengaruhi kualitas kain yang diproduksi setiap daerah. Hal itu tidak mustahil karena pada mbabar terdapat proses kimia; sedang waktu adalah sangat besar pengaruhnya terhadap proses kimia. Tetapi proses ini belum diketahui secara mendalam oleh para pembabar masa silam.
1. Bahan Untuk Mbabar
Pada umumnya untuk mbabar batikan dipergunakan bahan hasil alam dengan pengolahan sederhana. Memang bumi Indonesia kaya akan hasil alam yang bermacam-macam.
Bahan untuk mbabar, antara lain :
a. Nila
Nila dari tumbuh-tumbuhan tarum (Jawa tom). Sudah sejak jaman purbakala tarum dipakai untuk membuat warna pakaian. Nila dipergunakan untuk medel batikan dengan campuran bahan yang lain.
b. Tebu
Tebu diambil gulanya atau tetes; sebagai campuran.
c. Kapur Sirih (Enjet)
Dipergunakan untuk campuran.
d. Tajin
Tajin ialah semacam kanji yang diambil dari air rebusan beras.
e. Soga
Soga nama tumbuh-tumbuhan dari keluarga papilionaceae dan mempunyai warna kuning.
f. Saren
Saren dari kata sari berarti inti atau pati. Di Jawa terdapat istilah “saren”;yang dimaksud adalah darah lembu (kerbau) yang dipotong dan dimasak. Di sini saren adalah suatu ramuan, atau adonan dari beberapa bahan untuk mencelup batikan sesudah disoga. Dan tahap ini adalah tahap menghilangkan “malam”, atau mendekati penyelesaian.
2. Proses Mbabar Batikan Menjadi Kain.
Proses ini terbagi dalam beberapa tahap dan harus diselesaikan secara urut. Kalau batikan sudah dibliriki, pekerjaan meningkat kepada tahap pertama proses mbabar.
Tahap-tahap itu ialah :
A. Medel Dan Mbironi
Tahap Awal Pemedelan
Bahan pokok untuk medel ialah nila (tarum). Lebih dahulu disediakan air 24 pikul, satu pikul lebih kurang 40 liter. Sebuah jambangan diisi air 21 pikul dan sebuah lagi tetap dikosongkan.  Jambangan yang berisi air kemudian diberi latak. Latak ialah endapan cairan nila. Banyaknya latak 3 pikul, diaduk pagi dan sore selama 2 atau 3 hari. Pada pagi hari ke-3 atau 4, jika keadaan latak dalam campuran tersebut sudah kelihatan hitam, maka air diatas endapan diambil dan dipindah ke jambangan yang kosong. Endapan latak campuran ditambah lagi dengan latak baru sebanyak 2 pikul dan gula tetes sebanyak sebatok (batok yang dimaksud ialah tempurung kelapa belah dua dan diambil dagingnya). Warna campuran akan menjadi kuning. Sore harinya ditambah lagi dengan nila yang amat hitam sebanyak 1,5 pinggan besar (pinggan ialah mangkok besar).
Perendaman Pemedelan
Keesokan harinya, kira jam 6.00, nila dalam jambangan sudah dapat dimasuki batikan. Nila sebanyak itu diperuntukkan bagi batikan sebanyak 30 potong, masing-masing 2,5 kacu. Pencelupan ini memakan waktu kira-kira 2 jam; setelah itu diangkat dari rendaman dan ditaruh pada suatu sampiran tanpa dibentangkan, sampai air tidak menetes (atus). Pengangkatan dari rendaman dan penempatan sampai “atus” disebut “kasirep” (kasirep dari kata sirep kurang lebih berarti “reda”). Jika sudah atus atau tidak menetes airnya, kemudian dimasukkan ke dalam nila kembali selama dua jam : setelah itu diangkat dan dijemur sampai kering. Pengangkatan kedua dan penjemuran sampai kering disebut “kageblogi”( kageblogi dari kata “geblok” berarti suatu cara memukul, atau suatu ukuran kelompok).
Setelah batikan kering, dimasukkan lagi ke dalam nila. Pekerjaan ini dilakukan beberapa kali sampai batikan mencapai warna hitam. Kalau batikan sudah berwarna hitam, barulah kerja tersebut berhenti. Nila bekas pencelupan segera ditambah dengan endapan nila sebanyak 1,5 pinggan besar. Penambahan ini disebut “nglawuhi” (nglawuhi dari kata lawuh berarti lauk pauk untuk makan). Tetapi arti atau fungsi nglawuhi dalam proses mbabar kain ini adalah sebagai penyempurna. Sekarang nila berwarna kuning. Kalau terlalu kuning akan berbahaya sebab dapat merontokkan “malam”, sedangkan tugas “malam” pada mori belum selesai. Warna terlalu kuning disebabkan kurang enjet (kapur sirih). Tetapi jika terlalu banyak enjet, warnanya akan menjadi hijau, tidak dapat untuk menghitamkan batikan. Untuk mengembalikan warna menjadi kuning, cukuplah diberi cuka Jawa atau gula tetes.  Seandainya belum juga kuning, diberi gula tebu dan asam sampai warna berubah menjadi kuning kembali sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu batikan dimasukkan kembali dalam adonan nila seperti kerja di atas.
Pengerokan
Sekarang batikan sungguh-sungguh berwarna hitam. Setelah cukup batikan diangkat dan dicuci dalam air tawar dan dikeringkan pada tempat teduh. Batikan yang sudah kering direndam dalam air tawar sampai “malam” bluduk (bluduk ialah seperti keadaan akan rontok). “Malam” pada batikan reng-rengan dan terusan dikerok memakai alat tertentu sampai bersih; sedangkan “malam” pada tembokan dan blirikan tidak dikerok. Batikan yang sudah dikerok terus dibilasi (dibilasi ialah pencucian yang kedua kali) sampai air cucian kelihatan bersih, dan dikeringkan kembali pada tempat yang teduh. Setelah batikan kering, lalu dikanji memakai “tajin busuk” (basi) dengan gula tebu. Perbandingan campuran ialah 3 gelas tajin dengan gula seberat 3 buah uang sen. Setelah dikanji batikan dikeringkan kembali. Sesudah kering dibironi pada bagian-bagian yang membutuhkan warna biru (dibironi diberi warna biru). Sebelum dibironi, bagian-bagian yang tidak membutuhkan warna biru ditutup dengan “malam”. Cara menutup seperti membatik tembokan dan bliriki. Selesai dibironi, meningkat ke tahap ketiga yaitu di “soga”.
Pembilasan
Kemudian batikan dibironi. Reng-rengan batikan dikerok sampai bersih seperti cara yang sudah diterangkan. Sesudah dikerok terus dicuci dan dikeringkan, atau tanpa dikeringkan langsung disekuli, yaitu dicelupkan dalam “tajin”; kemudian dikeringkan. Apabila sudah kering, terus dibironi. Perbedaan dengan cara di atas ialah tanpa mengalami pengeringan yang pertama. Selain itu perbandingan bahanbahanramuan nila tidak tentu, tetapi tergantung dari perkiraan yang mengerjakan. Hal itu mungkin merupakankekalahan dalam tahap wedelan.

B. Nyoga
Melipat Wiru Batik
Sesudah dibironi dan kering, batikan itu disoga. Caranya : Batikan diwiru, yaitu dilipat bolak-balik (lipatan spiral). Selesai diwiru, dima-sukkan ke dalam wadah yang berisi soga hangat, ditekan-tekan sedemikian rupa agar merata. Sesudah cukup rata diangkat, dan disampirkan diatas wadah tersebut, supaya soga dapat menetes kembali ke dalam wadah tadi. Jika cairan soga tidak menetes lagi, maka batikan dijemur pada sinar matahari sampai setengah kering, kemudian dipindah ke tempat teduh sampai kering. Sampai disini barulah satu tahap nyoga; sedang penggunaan masing-masing soga akan berbeda pula tingkat-tingkatnya.
Setelah selesai menyoga, segera batikan disareni. Kapur dan gula tebu dituangi air jambangan, diaduk sampai hancur. Sesudah mengendap, maka air rendaman dituangkan dalam kenceng. Batikan dimasukkan dalam kenceng sampai merata; kemudian diangkat sampai atus. Sesudah atus, terus dipukul-pukul dalam air panas supaya “malam” hilang. Memukulkan pada air panas disebut “nglorot atau “nglungsur”. Setelah batikan “dilorot” terus dicuci dan dijemur. Penjemuran batikan itu disebut “dikemplang”. Sampai tahap ini disebut “ambabar”. Setiap pagi hari batik yang sudah berupa kain itu diembun-embunkan. Selesailah proses mbabar batikan.

Batik Belanda

Orang Belanda Jaman Dahulu Menggunakan Batik
Batik Belanda adalah jenis batik yang tumbuh dan berkembang antara tahun 1840-1940. Pada mulanya batik ini hanya dibuat untuk masyarakat Belanda dan Indo-Belanda yang pada umumnya berbentuk sarung. Para pemakainya semula terbatas pada kalangan sendiri kemudian menyebar ke lingkungan orang Tionghoa dan para bangsawan Jawa.
Bangsa Belanda datang ke Pulau Jawa dengan bendera VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada awal abad ke-17 untuk berdagang. Keberhasilan di bidang niaga membuat sebagian di antara mereka memilih tinggal menetap di kawasan yang dikenal dengan sebutan Hindia Belanda yang beriklim tropis. Mereka mengenakan Chintz dari India untuk busana sehari-hari.
Pada awal abad ke-19 terjadi penurunan import Chintz dari India. Hal ini membuat para pemakainya beralih ke batik dengan pola yang menyerupai Chintz atau pola-pola yang menampilkan paduan aneka bunga atau pola buketan, pohon bunga dengan ragam hias burung terutama burung bangau, angsa dan burung-burung kecil serta kupu-kupu, dapat pula pesawat terbang, bangunan atau sosok manusia. Ada pula ragam hias dongeng Eropa dan pengaruh budaya Tiongkok. 
Batik Belanda Motif Dongeng
Ketika impor tekstil dari India terhenti, terbukalah peluang bagi pengrajin batik untuk membuat dan memasarkan batik-nya. Runtuhnya VOC tahun 1799 dan kemudian digantikan oleh pemerintahan Belanda menyebabkan makin banyak orang Belanda menetap di Pulau Jawa dan berarti meningkat pula permintaan terhadap batik. Antara tahun 1840-1940 Pekalongan merupakan tempat mulai tumbuhnya batik Belanda. Banyak perusahaan batik Belanda bermunculan di Pekalongan yang dibuat oleh wanita Indo-Belanda seperti diantaranya Catharina Carolina van Oosterom, (batik Panastroman) dan Williams, disusul oleh perusahaan milik pengusaha Tionghoa dan Arab yang membuat batik Belanda. Ada pula E. van Zuylen, Metz dan Yans yang melahirkan batik van Zuylen. Selain itu daerah Semarang, Ungaran, Banyumas, Pacitan, Surakarta dan Yogyakarta. Tahun 1910 muncul batik Belanda milik orang Jawa di Banyumas.
Orang Indo Belanda memulai usaha batik dalam bentuk industri rumah tangga dengan membeli batikan dari para pengrajin batik dan mengupah orang untuk mencelup. Meningkatnya permintaan batik mendorong mereka yang sebagian besar terdiri atas wanita Belanda mulai mengubah pola kerja dari industri rumah tangga menjadi perusahaan dengan tempat kerja yang luas dan tata kerja yang sistematis. Sekitar pertengahan abad ke-19 tercatat beberapa usaha pembuatan batik dalam bentuk perusahaan yang dirintis dan dikelola oleh wanita Belanda, yang pada umumnya berpendidikan cukup. Wanita-wanita Belanda ini merupakan pengusaha yang sangat tangguh dan berangsur-angsur menjadi pengusaha batik terkemuka di berbagai bandar sepanjang pesisir utara terutama di Pekalongan yang bersama kota-kota lain berkembang menjadi pusat batik yang penting.  Perusahaan batik Belanda pertama berdiri di Surabaya pada tahun 1840, milik Carolina Josephina von Franquemont, yang kemudian pindah ke Semarang. Franquemont terkenal dengan penemuan warna hijau dari zat warna nabati yang tahan luntur. Warna ini kemudian disebut hijau franquemont dan sekaligus menjadi ciri khas warna batiknya.
Pelopor lain pengusaha batik Belanda adalah Catharina Carolina van Oosterom. Batik van Oosterom, yang kemudian dikenal sebagai batik Panastroman, dibuat di Banyumas dengan pola-pola yang banyak menampilkan pengaruh keraton. Sebelum pindah ke Banyumas, batik Oosterom dibuat di Semarang dengan pola Eropa. Para pengusaha batik Belanda dalam periode awal ini antara lain: B Fisher, S W Ferns, Scharff van Dop, C M Meyer, J A de Wit, AJF Jans, dan A Wollweber.
Nama L Metzelaar terkenal sebelum munculnya batik Eliza van Zuylen yang merupakan puncak karya cipta pengusaha batik Belanda. Pada periode ini hadir nama-nama baru seperti Carp, Feunem, Haighton dan Williams.
Pada awalnya batik Belanda, terutama yang dihasilkan oleh para pelopor seperti Franquemont dan Oosterom hanya menampilkan warna merah mengkudu dan biru indigo, baik biru muda maupun biru tua. Pola-polanya pun masih banyak yang menampilkan ragam hias mirip lereng dan lung-lungan, serta bertema dongeng. Seiring dengan pengaruh zaman yang menghendaki pola-pola yang menampilkan jati diri secara jelas, pola-pola semacam itu tidak tampak lagi dan digantikan oleh pola yang benar-benar bernuansa Eropa atau Belanda, yakni rangkaian bunga-bunga, buketan besar ataupun burung bangau di tengah rumpun tanaman air. Warnanya pun bergeser sedikit demi sedikit kearah warna yang lebih dari dua warna, terutama ketika mereka mulai menggunakan zat warna sintetis. Meskipun sebelumnya para pengusaha Belanda menolak menggunakan zat warna tersebut. Hal ini disebabkan oleh reputasi mereka sebagai seniman batik yang dibangun melalui warna-warna khusus ramuan mereka dari zat warna alami.
Pengusaha-pengusaha batik Belanda yang bermukim di pedalaman menghasilkan batik yang sangat dpengaruhi oleh lingkungannya. Pola serta warna batik keraton tampil bersama pola-pola batik Belanda dalam bentuk sarung, baik dengan kepala tumpal maupun kepala buketan. Pola utamanya tetap bernafaskan selera Eropa, yaitu bunga-bunga, buketan, burung-burung, kupu-kupu dan rangkaian bunga di atas latar dengan isen tradisional Jawa antara lain gringsing, galaran, anggur, dan akar jahe yang ditata dengan warna-warna biru tua, putih, serta warna soga yang sangat muda. Batik Belanda semacam ini antara lain dibuat oleh M Coenraad dan E Coenraad di Pacitan; Van Gentz Gottlieb, dan Jonas di Surakarta; Gobel dan De Boer di Yogyakarta; serta Williams dan Matheron di Banyumas. Ragam hias Jawa dalam batik Matheron biasanya lebih menonjol karena banyak menggunakan warna-warna soga dan pola klasik seperti lereng dan Sekar Jagad.
Tetapi ada pula ragam hias yang diilhami oleh dongeng-dongeng Eropa sebagai tema pola, antara lain “Little Red Riding Hood”, “Snow White”, dan “Hanzel and Gretel”. Bahkan ada pula pola yang menampilkan pemgaruh budaya Tiongkok seperti Dewi His Wang Mu, serta pola wayang dan pola sirkus.
Menjelang puncak perkembangannya, yakni kurang lebih pada tahun 1890-1910, batik Belanda tampil dengan wajah baru yang diprakarsai oleh Franquemont. Banyak perubahan terjadi pada penataan polanya, antara lain tidak semua bagian kepalamenggunakan ragam hias tumpal. Ragam hias tumpal yang pada awalnya dominan digantikan oleh untaian bunga atau ragam hias renda yang berfungsi sebagai batas antara bagian kepala dan bagian badan sarung. Adapun pola pada bagian kepala beraneka ragam, misalnya pola parang, lereng, dan buketan dengan isen tanahan. Batik-batik Belanda juga mengubah semua aturan yang biasa diterapkan pada pola kepala dan badan sarung.pada perkembangannya terakhir tampak pola badan dan kepala tidak berupa buketan, tetapi cukup dibedakan melalui perbedaan perpaduan warna-warna yang digunakan. Di samping itu bagian kepala tidak selalu diletakan di ujung sarung, tetapi dipindahkan ke bidang tengah sarung. Demikian pula bagian papan dihilangkan.
Kehadiran batik Belanda di Pulau Jawa di satu sisi merupakan saksi perkembangan batik di zaman Belanda yang diwarnai oleh zaman, peristiwa, serta lingkungan. Gejolak zaman yang disebabkan berkecamuknya Perang Dunia II sangat mempengaruhi kelangsungan produksi batik Belanda. Kedatangan bala tentara Jepang menyebabkan banyak orang Belanda dan Indo-Belanda ditahan dan dimasukan ke kamp-kamp oleh tentara Jepang. Oleh sebab itu hampir semua perusahaan batik Belanda, sebuah mahzab yang memberi sentuhan khusus pada perjalanan batik di bumi Nusantara berhenti berproduksi.  Di sisi lain batik Belanda menghadirkan karya-karya yang merupakan adikarya dari karyakarya batik yang sudah pernah ada sebelumnya dan merupakan hasil karya seni budaya yang sangat tinggi nilainya. Meski keindahannya merupakan keindahan visual saja.
Di bawah ini beberapa motif batik yang tergolong batik dengan pengaruh Belanda, yaitu :
Batik Belanda (Frannquemont)
pola Hanzel dan Gretel
Batik Belanda (J. Jans)
pola Buketan isen latar
Batik Belanda (Wollweber)
pola Limaran




Pola Batik Buketan

Pola Buketan Batik
Motif buketan merupakan motif dengan mengambil tumbuh-tumbuhan atau bunga sebagai ornamen atau hiasan yang disusun memanjang selebar kain.  Kata buketan sendiri berasal dari bahasa Perancis bouquet yang berarti rangkaian bunga. Motif ini mudah anda kenali karena motif dalam batik ini bergambar bunga, kupu-kupu, burung  hong, burung bangau, dan tumbuhan yang bersulur-sulur seperti tanaman yang tumbuh di Eropa. Gambar-gambar tersebut dirangkai dalam suatu rangkaian yang cantik, dengan warna yang indah.  Batik motif buketan ini banyak berkembang di daerah pesisir Jawa pada abad ke-19. Bersamaan dengan adanya pengaruh Eropa di zaman kolonial, khususnya Belanda. Selain itu motif batik buketan ini juga dipengaruhi oleh keberadaaan pedagang dan pengusaha batik dari Tiongkok pada masa lampau.
Motif Buketan pada Batik Belanda
Sejarah Pola Buketan
Penerapan ragam hias buketan itu mereka lakukan pada saat Batik Belanda yang berawal kurang lebih pada tahun 1840 dan dipelopori oleh Caroline Josephine Van Franquemont dan Catherina Carolina Van Oosterom. Pada awalnya batik Belanda tidak menampilkan pola-pola buketan. Namun demikian, seiring dengan adanya perkembangan polanya, maka batik Belanda pun menampilkan ragam hias buket–buket yang halus dan indah dengan warna-warna cerah serta serasi, bahkan sering dipadu dengan isen latar ragam hias tradisional keraton seperti galaran, gringsing, dan blanggreng yang dibatik sangat halus ( lebih halus dari batikan keraton ). Setelah bahan kimia masuk ke Jawa, maka batik Belanda yang semula hanya menampilkan dua warna itu, mulai menampilkan beragam warna sehingga tampak lebih indah dan halus.
Pola buketan tersebut pertama kali diproduksi oleh Cristina Van Zuylen yaitu salah satu seorang pengusaha batik keturunan Belanda kelas menengah di Pekalongan. Pada tahun 1880, Cristina Van Zuylen telah mengubah tradisi yang semula sebagai karya anonym ( tanpa diketahui identitas pembuatnya ) dan bersifat missal, menjadi karya individual. Identitas nama Cristina van Zuylen dituliskan disudut bagian dalam kain bentuk tanda tangan yang berbunyi “T. van Zuylen” ( kependekan dari Tina Van Zuylen ) pada setiap karyanya. Batik buketan yang terkenal adalah karya Zuylen bersaudara yaitu Cristina Van Zuylen dan Lies van Zuylen.
Batik Van Zuylen tersebut sangat laku, sehingga pengusaha-pengusaha menengah Tionghoa yang semula menerapkan pola-pola dengan ragam hias mitos Cina maupun keramik Cina, mulai membuat batik buketan setelah tahun 1910 sebagaimana diuraikan dimuka. Para pengusaha tersebut antara lain Lock Tjan dari Tegal, Oey-Soe-Tjoen dari Kedungwuni, dan Nyonya Tan-Ting-Hu yang mulai tahun 1925 telah memproduksi batik dengan format “pagi-sore”. Selain itu, dikampung Kwijan ( Tempat tinggal Kepala Daerah Pekalongan Tan-Kwi-Jan ) juga terdapat dua orang pengusaha batik buketan dari golongan Tionghoa yang cukup terkenal yaitu Tjoa-Sing-Kwat dan Mook-Bing-Liat.
Bangkitnya para pengusaha kelas menengah Tionghoa di Pekalongan untuk memproduksi batik dengan pola buketan ternyata mampu memberikan nilai tambah bagi karya seni batik dan tidak hanya menjadi barang dagangan semata. Selain jumlah produksinya yang meningkat, batik karya pengusaha Tionghoa tersebut juga memiliki nilai seni yang tinggi bahkan bisa disejajrkan dengan pelukis di Eropa ( Belanda ), terutama batik yang memiliki pola dan ragam hias mitos Cina. Namun demikian, batik yang diusahakan oleh pengusaha pribumi tetap tidak mengalami perubahan karena batik hanya dianggap sebagai kerajinan atau dagangan saja. Oleh karena itu, batik dibiarkan seperti adanya saja karena dipandang sebagai milik pasar. Hal itulah yang membedakan kedua golongan pengusaha yaitu Tionghoa dan pribumi dalam mengelola industri batik. adanya persaingan antara pengusaha batik Tionghoa dalam industri pembatikan telah membawa berbagai ketegangan, sehingga menimbulkan konflik yang sangat memprihatinkan.

Selamat Datang di BatikDan

Membuat Batik TuliBati
BatikDan : Batik Tradisional Indonesia adalah ensiklopedia Batik Tradisional Indonesia.  Sebagai upaya pelestarian dan referensi bagi para pecinta batik tradisional Indonesia, kami mengumpulkan artikel-artikel dari beberapa sumber sebagai catatan tertulis tentang khasanah pengetahuan tentang batik tradisional Indonesia.
Batik Tradisional Indonesia mempunyai sejarah yang panjang dalam perkembangannya. Meskipun ada yang meragukan bahwasannya batik adalah budaya asli Indonesia, tetapi ditemukannya motif batik pada arca candi Prambanan mengisyaratkan bahwa batik sudah dikenal sebelum Candi Prambanan itu dibuat yaitu 850 Masehi.Dalam perkembangannya, batik tradisional Indonesia tidak menutup kemungkinan dari pengaruh-pengaruh dari luar (India, Arab, Tiongkok, Belanda, ataupun Jepang).  Disamping itu, dalam metode pembuatannya batik tradisional Indonesia juga mengalami perkembangan, metode pewarnaan, bahan perintang (malam), bahan pewarna, maupun metoda pembuatan baru ditemukan. Pengaruh ini tentu saja memperkaya khasanah, corak, ragam, dan motif batik tradisional Indonesia.  Perbedaan yang ada bukanlah sesuatu yang mengurangi keindahan batik tradisional Indonesia, tetapi semakin memperkaya khasanah dan menjadikan batik tradisional Indonesia semakin unik, seperti halnya bangsa Indonesia yang terdiri  dari beraneka ragam suku, bangsa, bahasa, dan budaya.
Batik sebagai warisan budaya bangsa perlu kita lestarikan, hal ini dikarenakan  pada saat ini jumlah pengajin batik khususnya  batik tulis semakin menurun. Disamping itu, minimnya sumber referensi khususnya batik tradisional Indonesia, sejarah perkembangan, jenis batik, motif batik, ragam hias, dan corak yang ada membuat penulis merasa perlu untuk mengumpulkan dan menyarikannya melalui sebuag blog sebagai referensi umum untuk para pecinta batik tradisional Indonesia.  
Berikut ini adalah kumpulan artikel BatikDan, kami berusaha untuk terus menambah dan melengkapi artikel kami, dan besar harapan kami semoga artikel yang kami kumpulkan bermanfaat bagi para pecinta Batik Tradisional Indonesai.

BUKU KAMI DI GOOGLE BOOKS

title

BUKU NOVEL KOMEDI ANAK SEKOLAH
 
Support : Batik Tradisional Indonesia | Motif Batik | Keanekaragaman Batik
Copyright © 2013. Batik Tradisional Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by BatikDan
Proudly powered by Blogger