Pengrajin Batik Tulis Bakaran |
Nyai Sabirah juga sama seperti RA. Kartini, waktu itu beliau juga berkeinginan untuk mengangkat derajat kaum wanita di Bakaran Wetan agar sederajat dengan kaum laki-laki. Cara yang dilakukan Nyai Sabirah adalah mengajarakan wanita Bakaran Wetan untuk bertani dan membatik dengan penuh rasa sabar karena beliau sadar pada dasarnya martabat wanita itu sama baik dalam hubungannya manusia dengan Tuhan Yang
Maha Esa dan begitu juga hubunganya dengan mahkluk sosial. Nyai Sabirah juga mengubah pandangan masyarakat khususnya masyarakat Bakaran wetan bahwa wanita juga dapat memimpin, juga dapat bekerja menghidupi keluarganya, tidak hanya lelaki saja yang dapat memimpin dan bekerja.
Maha Esa dan begitu juga hubunganya dengan mahkluk sosial. Nyai Sabirah juga mengubah pandangan masyarakat khususnya masyarakat Bakaran wetan bahwa wanita juga dapat memimpin, juga dapat bekerja menghidupi keluarganya, tidak hanya lelaki saja yang dapat memimpin dan bekerja.
Nyai Sabirah adalah keturunan dari kerajaan Majapahit. Pada saat kerajaan Majapahit terjadi perang saudara, tiba-tiba pemberontak membakar kerajaan Majapahit selama tiga hari tiga malam keadaan yang sudah kacau balau itu diperparah lagi dengan datangnya pasukan tentara Demak di bawah pimpinan Raden Patah (1500-1518) sebenarnya Raden Patah ini bermaksud baik ingin menumpas pemberontak di kerajaan Majapahit, akan tetapi kerajaan Majapahit beranggapan bahwa Demak memberontak melawan Majapahit.
Banyak keluarga Majapahit yang melarikan diri meninggalkan kerajaan untuk menyelamatkan diri termasuk di dalamnya kakak beradik Ki Dukut dan adiknya Nimas Sabirah, perjalanan kakak beradik itu sampailah ke suatu hutan belantara mereka berdua bergotong-royong membuka lahan pertanian dan tempat tinggal dengan cara membabat hutan tersebut,di saat mereka berdua bergotong-royong, sang adik meminta kepada kakaknya agar dia dibebaskan dari tugas pembabatan hutan tersebut dengan alasan tugas itu berat bagi seorang perempuan, bahwa tenaga laki-laki tentunya lebih kuat dan mampu membuka lahan yang banyak dibanding perempuan.
Banyak keluarga Majapahit yang melarikan diri meninggalkan kerajaan untuk menyelamatkan diri termasuk di dalamnya kakak beradik Ki Dukut dan adiknya Nimas Sabirah, perjalanan kakak beradik itu sampailah ke suatu hutan belantara mereka berdua bergotong-royong membuka lahan pertanian dan tempat tinggal dengan cara membabat hutan tersebut,di saat mereka berdua bergotong-royong, sang adik meminta kepada kakaknya agar dia dibebaskan dari tugas pembabatan hutan tersebut dengan alasan tugas itu berat bagi seorang perempuan, bahwa tenaga laki-laki tentunya lebih kuat dan mampu membuka lahan yang banyak dibanding perempuan.
Sang adik mempunyai usul kepada kakaknya "Kak...kamu adalah seorang laki-laki pasti wilayahmu lebih luas dari aku,” kata Nimas Sabirah kepada kakaknya "Aku punya usul begini kak, supaya adil kalau seandainya aku mengumpulkan sedikit sampah dan membakarnya, nanti di mana jatuhnya abu di situlah wilayah bagianku, bagaimana menurutmu kak?", lanjut Nimas Sabirah kepada kakaknya. Kemudian kakak-nya menjawab "Sebagai kakak yang bijaksana aku setuju dengan usulanmu".
Mulailah Nimas Sabirah mengumpulkan sampah yang kemudian membakarnya. Atas izin Sang Pencipta tiba-tiba angin bertiup sangat kencang dan membawa abu sampah itu berterbangan ke mana-mana sesuai perjanjian dengan sang kakak, maka di mana abu (langes) itu jatuh di situlah wilayah sang adik. Pembabatan hutan itu mengundang perhatian masyarakat di sekitar hutan untuk ikut bergabung. Mereka membantu membabat hutan untuk tempat tinggal dan membuka usaha mereka banyak warga masyarakat yang ikut bergabung, semakin luas pula wilayah baru tersebut, tidak lagi sebuah desa kecil, tetapi menjadi perkampungan baru yang sangat luas dengan penduduk yang cukup banyak. Wilayah jatuhnya abu itu kemudian disebut Desa Bakaran.
Mulailah Nimas Sabirah mengumpulkan sampah yang kemudian membakarnya. Atas izin Sang Pencipta tiba-tiba angin bertiup sangat kencang dan membawa abu sampah itu berterbangan ke mana-mana sesuai perjanjian dengan sang kakak, maka di mana abu (langes) itu jatuh di situlah wilayah sang adik. Pembabatan hutan itu mengundang perhatian masyarakat di sekitar hutan untuk ikut bergabung. Mereka membantu membabat hutan untuk tempat tinggal dan membuka usaha mereka banyak warga masyarakat yang ikut bergabung, semakin luas pula wilayah baru tersebut, tidak lagi sebuah desa kecil, tetapi menjadi perkampungan baru yang sangat luas dengan penduduk yang cukup banyak. Wilayah jatuhnya abu itu kemudian disebut Desa Bakaran.
Nimas Sabirah di Desa Bakaran itu mengajak warga masyarakat untuk hidup rukun, gotong-royong dan saling tolong-menolong. Nyai Sabirah memberi contoh warga masyarakat untuk mengolah lahan pertanian dengan baik dan beliau juga ikut bertani sebagaimana masyarakat desa itu. Nimas Sabirah ingat akan pesan orang tua dan leluhurnya agar dia menjadi wanita yang utama. Pengertian wanita yang utama menurut orang Jawa dimaksudkan bahwa seorang wanita dituntut mempunyai keutamaan moral dalam menjalin hubunganya dengan Tuhan Yang Maha Esa dan hubungannya sesama melalui segala aspek jasmani maupun rohani. Nimas Sabirah beranggapan bahwa wanita mempunyai martabat sederajat dengan pria, baik dari segi hubungannya dengan Tuhan maupun sebagai makhluk sosial.
Nimas Sabirah dengan kecerdasannya mengajak masyarakat untuk membangun suatu bangunan tempat berkumpul sekaligus tempat pencerahaan jiwa. Bangunan itu terletak disamping rumahnya. Masyarakat bergotong-royong membangun tempat itu dengan senang hati. Bangunan itu bentuknya seperti masjid, menghadap ke timur mengarah ke kiblat, namun bangunan itu tidak ada tempat untuk pengimaman (tempat memimpin sholat). Bangunan itu terdiri dari ruang utama atau ruang dalam dan serambi. Orang memberi nama atau menyebutnya bangunan Sigit (Isine Wong Anggit) bangunan Sigit ini digunakan oleh Nyai Sabirah sebagai tempat berkumpulnya masyarakat Bakaran Wetan ketika Nyai Sabirah panen beliau mengumpulkan warganya untuk makan bersama dan malamnya menonton pertunjukan wayang.
Bangunan Sigit itu sampai saat ini masih terawat kokoh dan bahkan pernah direnovasi warga Bakaran tahun 1923. Tulisan yang tertera pada pintu utama sigit tertulis dengan jelas 15 September 1923. Serambi sigit pernah direnovasi generasi penerusnya dan dalam blandar (kayu) tertulis 10 November 1949. Pada kayu punden-pun pernah direnovasi dan tertulis dengan jelas 15 Februari 1957.
Nimas Sabirah selain mendirikan bangunan sigit juga membangun sumur, yang dibagian atas sumur itu dibangun dengan batu bata merah. Seperti kebiasaan wanita pedesaan lainnya Nimas Sabirah juga melakukan aktivitas yang sama memasak, mandi dan mencuci. Sumur itu sampai saat ini masih terawat dan konon air sumur itu dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit dan tempat untuk membuktikan orang yang telah melakukan kesalahan dan orang itu tidak mengakui kesalahanya.
Bangunan Sigit itu sampai saat ini masih terawat kokoh dan bahkan pernah direnovasi warga Bakaran tahun 1923. Tulisan yang tertera pada pintu utama sigit tertulis dengan jelas 15 September 1923. Serambi sigit pernah direnovasi generasi penerusnya dan dalam blandar (kayu) tertulis 10 November 1949. Pada kayu punden-pun pernah direnovasi dan tertulis dengan jelas 15 Februari 1957.
Nimas Sabirah selain mendirikan bangunan sigit juga membangun sumur, yang dibagian atas sumur itu dibangun dengan batu bata merah. Seperti kebiasaan wanita pedesaan lainnya Nimas Sabirah juga melakukan aktivitas yang sama memasak, mandi dan mencuci. Sumur itu sampai saat ini masih terawat dan konon air sumur itu dapat digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit dan tempat untuk membuktikan orang yang telah melakukan kesalahan dan orang itu tidak mengakui kesalahanya.
Nyai Sabirah walaupun seorang wanita, beliau mempunyai piaraan yang sangat unik yaitu ayam jantan. Ayam jantan Nyai Sabirah selalu berkokok setiap paginya untuk membangunkan warga masyarakat untuk segera bangun dan mencari nafkah. Ayam jantan itu di beri nama Jago Tunggul Wulung dan ayam jantan piaraan Nyai Sabirah ini tidak terkalahkan apabila ditandingkan dan yang bertugas merawatnya adalah Bagus Kajieneman.
Kelembutan serta kasih sayang dan kedermawanan Nyai Sabirah menjadikan beliau dikenal banyak orang. Banyak tamu-tamu berdatangan dari segala penjuru dan segala lapisan masyarakat. Tamu-tamunya menyebutnya dengan sebutan Nyai Ageng Bakaran (Orang Agung di Bakaran). Setiap ada tamu dari luar wilayah yang datang selalu dimuliakan dan disambut dengan senyuman. Nyai Sabirah melaksanakan ungkapan jawa bahwa “Ulat sumeh agawe renane wong akeh” orang yang selalu tersenyum pasti membuat banyak orang bahagia. Setiap tamu yang datang selalu diaruh, disuguh, direngkuh. Diaruh maksudnya setiap tamunya yang datang disambut dengan kata-kata yangmenyejukan hati dan menyenangkan. Disuguh setiap tamu yang datang selau diberi minuman dan makanan. Direngkuh setiap tamu yang datang dianggap saudara.
Kelembutan serta kasih sayang dan kedermawanan Nyai Sabirah menjadikan beliau dikenal banyak orang. Banyak tamu-tamu berdatangan dari segala penjuru dan segala lapisan masyarakat. Tamu-tamunya menyebutnya dengan sebutan Nyai Ageng Bakaran (Orang Agung di Bakaran). Setiap ada tamu dari luar wilayah yang datang selalu dimuliakan dan disambut dengan senyuman. Nyai Sabirah melaksanakan ungkapan jawa bahwa “Ulat sumeh agawe renane wong akeh” orang yang selalu tersenyum pasti membuat banyak orang bahagia. Setiap tamu yang datang selalu diaruh, disuguh, direngkuh. Diaruh maksudnya setiap tamunya yang datang disambut dengan kata-kata yangmenyejukan hati dan menyenangkan. Disuguh setiap tamu yang datang selau diberi minuman dan makanan. Direngkuh setiap tamu yang datang dianggap saudara.
Dalang Sapanyana dan Trunajaya Kusuma adalah anak asuh dari Nyai Sabirah yang membantu beliau untuk menjamu para tamu, selain itu Nyai Sabirah juga mengajarkan membatik para wanita di sekitar Bakaran. Beliau dengan sabar mengajari mereka membatik bagaimana cara memegang canting (alat untuk membatik) cara meniup lubang canting, cara merebus malam, cara menghubungkan titik-titik dan cara menorehkan ujung canting ke kain yang sudah digambar. Sampai sekarang wanita-wanita Desa Bakaran banyak yang menekuni kerajinan itu, dan sebagai khasanah Batik Tradisional Indonesia.